Paham kesatuan bangsa ini kemudian mengalami gerakan nasional sebagai dasarnya, dan ia muncul kembali dalam Mukadimah UUD 45, yang pada waktu itu dipahami sebagai UUD sementara, di mana pengalaman masa lampau dirumuskan menjadi dasar untuk menentukan masa depan. Yang ditegaskan di situ adalah, bahwa bukan pemimpin-pemimpin Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya, tetapi bangsa itu sendiri. Menurut Olaf Schumann, pengungkapan itu sangat mendalam artinya yang senantiasa harus digali kembali. Sebab, perkataan itu tidak saja tertuju terhadap pemimpin-pemimpin kekuasaan, sultan-sultan dan sebagainya, melainkan juga terhadap pemimpin-pemimpin keagamaan.
Jadi, ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, mereka memproklamirkannya bersama-sama, dengan tidak melihat keterikatan keagamaan, ras atau kedudukan sosial. Orang Cina yang ikut aktif dalam gerakan kebangsaan Indonesia dimasukkan. Titik yang membedakan ialah apakah seseorang ikut dan mendukung dalam tujuan kebangsaan itu atau tidak.
Semua bangsa yang mendukungnya telah bersatu dalam kemerdekaan itu, sehingga persatuan itu sebenarnya tidak perlu diwujudkan, melainkan tinggal menghayatinya. Inilah yang tertuang dalam  Pancasila, yang menjadi pegangan untuk Negara yang kemudian hendak dibangun atas dasar itu ialah hal-hal yang dipegang bersama, bukan hal-hal yang tidak dipegang bersama.
Fungsi Pancasila ialah membimbing dan mengarahkan bangsa yang diproklamirkan kemerdekaannya dalam usaha bersama membangun negara merdeka yang mereka perjuangkan bersama, dan tiap-tiap sila turut memikul program kerja itu.
Proklamator kemerdekaan, Bung Karno, keadilan sosial merupakan suatu tugas yang utama, meskipun teramat besar yang menuntut suatu penyelsaian. Oleh sebab itu, menurut Bung Karno, penanggulangan masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah ukuran apakah suatu politik di Indonesia merupakan politik Indonesia atau tidak. Sila yang mula-mula ditempatkan sebagai sila yang pertama, yaitu kesatuan bangsa, yang dijiwai dan diisi oleh sila keadilan sosial. Sila itu hanya dapat diwujudkan sebagai kenyataan yang mantap bilamana keadilan sosial sudah menjadi kenyataan pula.
Mewujudkan keadilan sosial bukan hanya merupakan tugas tidak golongan agama-agama atau golongan tertentu saja. Tidak ada keadilan sosial yang khusus bagi kaum Muslimin, dan pula tidak ada yang khusus untuk kaum Kristen Protestan dan Katolik, Hindu atau Budhis. Keadilan sosial adalah masalah semua dan berlaku untuk semua bersama.
Jika ada yang lapar atau tertindas, maka tidak ada perasaan lapar Islam, Kristen atau lainnya. Perasaan semua orang yang terkena adalah sama. Pada waktu itu, di mana perwujudan keadilan sosial merupakan masalah yang amat rumit, maka ia sering dilihat sebagai langkah pertama yang harus dibereskan setelah kemerdekaan akan tercapai, sebagai tugas utama bersama.
Opa Jappy, Tulisan di atas merupakan ringkasan serta refleksi terhadap pemikiran (guru sekaligus pembimbing Study Islam ku) Prof. Dr. Olaf Schumann. Lahir 1938. Studi Teologi dan Islamologi di Kiel, Tübingen, Basel dan Kairo. 1966-68 Guru Bahasa Jerman untuk DAAD di Universitas Assiut (Mesir); 1970-1981 Balitbang PGI, Jakarta. 1981-2005 Profesor di Universitas Hamburg. 1989-1992 Dosen STT Jakarta. Dosen tamu di berbagai Universitas dan STT di Indonesia dan di Sabah Theological Seminary di Kota Kinabalu, Malaysia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H