Kesan ini tetap bertahan ketika beberapa di antara sultan tradisional ditantang oleh kaum elit Islam baru yang mulai berkembang di kalangan bangsawan rendah atau pedagang/ulama. Bahwa beberapa dari sultan itu mencari perlindungan pada penguasa kolonial telah mengalami jalan keruntuhan kekuasaan mereka, (bandingkan umpamanya dengan sejarah "Perang Paderi" di Sumatra Barat abad yang lalu, masalah di Kraton Yogyakarta, dan lain-lain). Pertentangan terhadap kaum penjajah semakin dikalimatkan sebagai pertentangan terhadap agama yang dipeluk penjajah, yakni agama Kristen.
Namun, pada awal abad ini terjadi suatu perubahan. Jika melihat situasi di Malayapada waktu itu, maka
Di Indonesia, dengan sudah dilemahkannya kedudukan para sultan dan raja (Islam), maka paham bangsa telah siap untuk diberikan arti yang baru. Para pelopor gerakan kebangsaan mulai melepaskan diri dari konotasi feodal; sehingga sebagai gerakan dari bawah melawan yang di atas.
Hal itu sebenarnya sudah menjadi nampak -paling sedikit jika dilihat dari belakang, meskipun pada masanya sendiri mungkin belum jelas- sekitar pendirian Serikat Dagang Islam (SDI, 1905), pelopor dari (Partai) Serikat Islam (Indonesia) yang kemudian menjadi gerakan nasionalisme Indonesia yang paling giat (sejak 1912); , SDI tidak hanya menentang pedagang Batik Cina di Solo, melainkan juga Sri Susuhunan yang mendukung pedagang Cina.
H.O.S Tjokroaminoto sendiri, ketua SI yang cukup lama (1912-1934) senantiasa menolak pengharapan bahwa gerakan nasional akan menghasilkan seorang "ratu adil"; yang diserukannya adalah pendirian "ratuning adil" yang dibentuk oleh rakyat.
Dalam Serikat Islam, "Islam" memang muncul sebagai lambang; tidak muncul semata-mata sebagai lambang agama Islam, melainkan sebagai lambang perlawanan pribumi yang bertentangan dengan kebelandaan. SI pada permulaannya tidak hanya menerima anggota yang beragama Islam, tetapi juga dari golongan-golongan yang mempunyai orientasi ideologis yang lain. Dengan demikian, gerakan nasional (kebangsaan) mulai dari bawah, dari rakyat.
Mereka berkumpul di bawah bendera Islam, namun terbuka juga bagi para nasionalis (yang anti-Belanda) yang lain. Baru setelah Partai Serikat Islam menjadi lebih sempit, sesudah 1921, organisasi kebangsaan yang lain mulai muncul sendirian.
Namun dengan titik tolak itu, gerakan kebangsaan pada akhirnya dapat berpuncak dalam Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928, di mana, dengan "Sumpah Pemuda", semboyan gerakan nasional dapat dicetuskan: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Dalam Sumpah Pemuda soal agama tidak disebut. Yang ditonjolkan adalah hal-hal yang menyatukan bangsa itu, lepas dari soal hubungan salah satu bangsa dengan penguasa lokal atau regional. Karena ada satu penguasa yang mengatasi semua (yaitu penguasa kolonial), maka bangsa dibawahnya harus juga melihat diri sebagai suatu kesatuan, sebagai satu bangsa.
Namun, bangsa ini sekarang tidak lagi bersatu dalam kesetiaannya terhadap penguasa, melainkan ia telah bertekad dengan menggantikannya dan mengambil kekuasaannya dalam tangannya sendiri.
Jadi logislah, bahwa bentuk negara merdeka yang dicitakan itu mengambil bentuk republik, bukan kerajaan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!