Penyebutan
"Nama yang Ilahi" pada Agama Kristen di Indonesia
Pada setiap agama mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau Sesuatu Yang Ilahi dan disembah. Ia bisa disebut TUHAN, Allah, God, Dewa, Ilah, Lamatu'ak, Debata, Gusti Pangeran, Deo, Theos atau penyebutan lain sesuai dengan konteks dan bahasa masyarakat yang menyembah-Nya. Konsekuensinya, adalah mereka percaya bahwa IA, YANG ILAHI itu, benar-benar ada. Ini berarti pada masing-masing komunitas, menyebut Ilahi sesuai dengan bahasa yang digunakan sehari-hari.
Dengan demikian di tenga-tengah hidup dan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, yang mempunyai ratusan suku serta sub-suku dengan bahasanya masing-masing, ada banyak nama untuk menyebut Sang Ilahi. Tiap suku [mungkin saja sub-suku] menyebut-Nya sesuai bahasa mereka. Artinya, ada ratusan nama untuk Dia, Sang Pencipta dan Maha Esa serta Maha Kuasa. Ketika bangsa-bangsa Eropa menyebar agama Kristen [Katolik dan Protestan] ke Nusantara [melalui pintu masuk Malaka, Banten, Sunda Kelapa, Ambon, dan kemudian Flores], mereka berupaya agar bagian-bagian Alkitab dapat dimengerti melalui bahasa-bahasa yang dipakai rakyat pada masa itu. Sedangkan pada masa itu, Alkitab yang mereka bawa berbahasa Ibrani dan Yunani serta beberapa bahasa di Eropa, misalnya Latin, Inggris, dan Jerman.
Oleh sebab itu, ada upaya memperkenalkan ayat-ayat Alkitab dan ajaran keagamaan kepada penduduk Nusantara, terutama Siapa yang disembah dalam agama Kristen. Itu berarti Alkitab harus diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang dipakai oleh penduduk Nusantara. Pada tahun 1612 M, dimulai penerjemahan Alkitab ke bahasa Melayu [pilihan utama pada bahasa Melayu, karena dipakai secara umum oleh sebagian besar penduduk Nusantara]. Tujuh belas tahun kemudian, diterbitkan Alkitab Bahasa Melayu, dan dipergunakan secara resmi oleh orang Kristen dan gereja-gereja di Nusantara.
Pada waktu berlangsungnya proses penerjemahan, timbul semacam kesulitan untuk menerjemahkan Nama yang disembah pada agama Kristen, ke bahasa dan dialek Melayu. Kesulitan tersebut karena ada banyak Nama untuk menyebut Ilahi dalam bahasa suku dan sub-suku. Di samping itu, agama Islam [yang telah berkembang di Nusantara] telah memperkenalkan nama Allah, sebagai Yang Maha Esa, Maha Kuasa, dan Pencipta segala sesuatu. Untuk mencegah perbedaan agama-agama dan dengan alasan kesamaan, para penyebar agama Kristen dari Eropa memakai penyebutan yang sama, yaitu Allah. Situasi itu berlangsung terus hingga penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia.
Dengan demikian, nama Allah digunakan sebagai sebutan untuk menyebut pusat dan tujuan penyembahan dalam agama Kristen. Nama yang dipergunakan tersebut, sama dengan yang dipakai dalam agama Islam. Dan dengan itu, berkembang suatu pemahaman bersama, bahwa Allah yang disembah dalam agama-agama, terutama agama Islam, sama dengan dipercayai pada kekristenan.
Pemakaian kata TUHAN Allah
[sejarah ringkas]
Pada masa kini, sesuai bahasanya, bangsa Indonesia menyebut nama Yang Ilahi, dengan sebutan-sebutan TUHAN; Allah; TUHAN Allah, bahkan Allah TUHANku. Hampir semua agama-agama di Indonesia memakai penyebutan tersebut. Demikian juga agama Kristen di Indonesia, menerima penyebutan itu sebagai sapaan terhadap Yang Ilahi, sehingga, bangsa Indonesia [yang sering menyebut diri sebagai bangsa yang beragama]. Dan, seringkali terdengar kata-kata yang muncul dari orang Indonesia, bahwa ia percaya TUHAN; ia adalah umat Allah; saya sebagai hamba Allah; agama Allah; saya percaya kepada TUHAN Yang Maha Esa, dan lain sebagainya. Pemakaian kata TUHAN, Allah, atau TUHAN Allah pada agama-agama di Indonesia, melalui perjalanan sejarah yang rumit dan cukup panjang.
Kata TUHAN, Tuhan, dan Allah, [lepas dari atribut Ilahinya] masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, karena pengaruh bahasa-bahasa Semit [misalnya bahasa Aram, Ibrani, Arab] dan Melayu. Bahasa Semit adalah bahasa-bahasa yang dipakai oleh masyarakat Timur Tengah pada masa lalu sampai sekarang. Dan harus dipahami juga bahwa Kitab-kitab Suci [dan bagian-bagiannya] agama-agama Samawi, pada awalnya, ditulis dalam bahasa-bahasa Semit. Â Dan kemudian bahasa Yunani. Pengaruh bahasa dan dialek Melayu, karena dipakai [sebagai bahasa pergaulan] oleh hampir semua suku dan sub-suku di Semenanjung Malaysia, Thailand Selatan dan Kepulauan Nusantara.
EL
Pada masyarakat Timur Tengah Kuno, ada banyak penyebutan untuk menyebut Sang Ilahi. Penyebutan tersebut, juga sesuai dengan konteks budaya, sosial, bahasa yang dipakai. Siapapun nama atau apapun sebutannya, menunjuk pada Pribadi super natural dan non material, yang diyakini ada; serta akibat dari keberadaan-Nya dirasakan oleh umat manusia. Beberapa orang dari antara masyarakat Timur Tengah Kuno, misalnya Abraham, Ishak, Yakub, sesuai dengan bahasa Aram yang mereka gunakan, memakai kata El untuk menyebut Ilahi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!