Keinginan untuk pemisahan itu, karena suatu komunitas membangun dan memobilisasi kelompok masyarakat berdasarkan kesamaan identitas ras, agama, kultur, bahasa, solidaritas sebagai korban ketidakadilan [bahkan penindasan] sosial-politik-ekonomi. Dan, jika semuanya itu dijadikan perekat dan alat perjuangan, maka melahirkan konflik besar dan meluas.
Konflik itu meluas karena mereka yang mempunyai kesamaan SARA, walaupun berada di luar wilayah konflik, mau tidak mau, akan ikut berjuang, namun secara diam-diam. Itu terjadi karena adanya identitas fundamental yang menyatukan mereka sebagai kelompok yang tertindas, tersisih, dan diperangi, korban kekerasan, dan ketidakadilan; serta suatu kesamaan panggilan yaitu kewajiban untuk membela dan melindungi komunitas.
Pada masa kini, ternyata AGAMA telah terkontaminasi dengan hasil dan unsur kebudayaan, politik, ekspansi kekuasaan, serta kesombongan dan kebanggaan manusia. Akhirnya, pada sikon tertentu, agama menjadi simbol pembeda, dan bukan jalan untuk dilewati manusia agar bertemu dengan Ilahi.
Pada sikon kekinian, khususnya di Indonesia, muncul banyak konflik baru; konflik yang terjadi di dalam wilayah negara [konflik dalam negara], misalnya perang antar suku, gerakan separatis dengan kekerasan, dan lain-lain. Sentimen SARA terjadi secara terang-terang maupun tertutup. Secara terang-terangan berupa, penodaan, pengrusakan, dan penghacuran fasilitas sosial-ekonomi atau pun ibadah milik etnis serta agama-agama. Secara tertutup berupa pengambilan keputusan pada lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, bahkan militer dan politik, berdasarkan latar berlakang SARA seseorang; misalnya adanya unsur SARA dalam pemilihan pemimpin, kenaikan pangkat dan jabatan, dan lain-lain.
Sejak lama, di Indonesia, negeri tercinta ini, sentimen SARA mudah meledak menjadi kerusuhan sosial semenjak awal kemerdekaan, masa demokrasi terpimpin, orde lama, orde baru, serta suasana reformasi. Karena adanya sentimen SARA terjadi pelbagai masalah dan kerusuhan sosial; penghancuran fasilitas-fasilitas milik institusi keagamaan dan umat beragama; pengrusakkan aset-aset ekonomi; termasuk produk hukum yang tidak adil kepada golongan minoritas SARA.
Sentimen SARA adalah bahaya laten yang sewaktu-waktu meledak hanya karena sedikit masalah kecil dan sepele. Sentimen SARA juga memungkinkan interaksi antar umat beragama penuh kemunafikan serta ketidakjujuran. Artinya, bisa saja dalam kerangka interaksi sosial-ekonomi-budaya-pendidikan, dan lain-lain, umat beragama menampilkan suasana rukun, saling menerima dan menghormati satu sama lain. Akan tetapi, ketika muncul sedikit salah pengertian dan gesekan-gesekan, adanya provokator dan provokasi, masukan-masukan negatif demi kepentingan politik, dan lain sebagainya, maka hubungan baik antar umat beragama [begitu] cepat berubah menjadi kesatuan kekuatan untuk melawan dan kekerasan.
Dan tidak bisa dibantah oleh siapapun, bahwa sentimen SARA telah menjadi momok atau pribadi yang menakutkan pada sikon dan lingkungan pergaulan sosial, hubungan antar umat agama, pengangkatan dan pemilihan pemimpin negara maupun daerah, kenaikkan pangkat dan jabatan, pengangkatan pegawai, jabatan dan kedudukan organisasi ataupu institusi pendidikan, perilaku kepemimpinan sosial dan masyarakat, kegiatan ekonomi, aktivitas politik, dan lain sebagainya.
Perbedaan SARA bisa juga menjadi kekuatan membangun kebersamaan guna mencapai tujuan keutuhan serta kemajuan umat manusia. Sayangnya, kekuatan itu [pada banyak kasus] hanya difungsikan untuk merusak serta penyingkiran terhadap orang lain; ha-hal tersebut sangat mudah digunakan oleh para pemimpin serta tokoh masyarakat, agama, politik, dalam rangka meraih popularitas. Dengan itu, agaknya, sentimen SARA bisa dijadikan kendaraan untuk mencapai tujuan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H