Mohon tunggu...
Jan Pieter Windy
Jan Pieter Windy Mohon Tunggu... staf -

melihat dari sudut yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rawan Pangan di Provinsi Jagung

22 September 2015   12:50 Diperbarui: 22 September 2015   13:01 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil survey KoAR-Kupang setidaknya menggambarkan bahwa terdapat masyarakat yang selalu mengalami ulang tahun kesulitan pangan di Provinsi Jagung ini. Lalu apakah kejadian ini menjustifikasi program bagi-bagi beras pemerintah? Jawabannya tentu saja “TIDAK”. Masyarakat memiliki hak untuk tidak selalu berada pada posisi dikasihani dan pemerintah atau pihak lainnya berada pada posisi yang mengasihani.  Penanganan yang dilakukan seharusnya dapat dilakukan secara berkesinambungan dan tidak hanya bersifat emergency (darurat) saja, dan perlu terintegrasi dalam tidakan pembangunan sebagai upaya dalam memanage resiko kekeringan yang dihadapi. Karena kekeringan yang selalu berulangtahun ini, memberi penegasan bahwa kekeringan dan dampak ikutannya bukan kejadian tiba-tiba, bukan tidak dapat diduga atau dipresiksi, sebaliknya, hal ini dapat diprediksi jauh sebelum terjadi sehingga resikonya dapat dicegah.

Fakta diatas membuat saya bertanya-tanya, apakah tidak bisa dilakukan sesuatu yang dapat menjawab keluhan masyarakat? Apakah sudah tidak ada orang berotak pandai di NTT sehingga resiko yang oleh anak kecil sudah dapat diramalkan ini tidak dapat dicegah atau diminimalisir? Apa hasil dari begitu banyaknya nama samaran NTT yang dibaptis menjadi Provinsi Jagung, Provinsi Ternak, Provinsi Kepulauan, Provinsi Koperasi dan samaran lain yang sedang ada dalam otak sang pimpinan daerah?

Sangat lucu memang menyandingkan baptisan-baptisan itu dengan realitas yang terjadi ditengah masyarakat NTT. Sandingkan saja program RASKIN dengan gelar NTT Provinsi Jagung, program yang lama mempopulerkan kebaikan hati pemerintah ini, seakan menampik keberadaan jagung yang merupakan makanan pokok orang NTT. Jagung seakan tergeser dengan kedatangan beras, bahkan komunitas yang dulunya membanggakan jagung sebagai lambang kemakmuran, kini malu mengkonsumsi jagung, dan malah memposisikan jagung sebagai makanan ternak. Atau sandingkan saja Provinsi Ternak ini dengan begitu banyaknya kematian ternak warga yang jarang menjadi perhatian pemerintah, bahkan ketiadaan pakan ternak yang luput dari perhatian mengembalikan Nusa Tenggara Timur sebagai gudang ternak.

Kenyataan-kenyataan inilah yang membuat saya seakan mabuk anggur merah. Sejahtera yang mana bila melihat banyak anak di berbagai komunitas mengalami masalah  gizi? Sebut saja Darlin, sebuah nama yang pernah dekat ditelinga saya saat sebuah pendampingan dilakukan di Kelapa Tinggi, Desa Mata Air, Kabupaten Kupang. Akibat busung lapar, anak tersebut harus terpuruk dalam masa keceriaannya dan akhirnya meninggal hanya karena pembiaran/ penelantaran negara pihak yang seharusnya menjamin kesejahteraannya sebagai rakyat. Atau fakta dimana terdapat 73 ribu lebih anak di Nusa Tenggara Timur yang mengalami kurang gizi, dan ratusan diantaranya telah berjalan ke pintu akhirat akibat busung lapar yang tidak/lambat ditangani.

Busung lapar atau Kwashiorkor yang pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Cecilie Williams pada tahun 1933 sewaktu ia berada di Gold Coast, Afrika berasal dari bahasa setempat yang berarti “penyakit anak pertama yang timbul ketika anak ke dua muncul”. Makna intinya menggambarkan suatu kondisi yang timbul pada anak akibat ditelantarkan atau terjadi pembiaran.

Menurut penelitian Institut for Ecosoc Right secara umum untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, busung lapar dan gizi buruk terjadi berakar pada persoalan strutktural yakni kelemahan rumah tangga, komunitas dan kebijakan publik. Penyebab busung lapar dan gizi buruk pada level kebijakan publik merupakan aspek yang dianggap paling menarik karena beragam bencana disikapi dengan politik bantuan. Politik bantuan justru melemahkan kapasitas komunitas dalam pengelolaan bencana (termasuk busung lapar dan gizi buruk) yang berujung pada sikap ketergantungan. Ada juga pemahaman yang keliru yang menempatkan kasus busung lapar sebagai masalah kesehatan sehingga model penanggulangan bersifat kuratif, karitatif, emergency dan bersifat jangka pendek sehingga hasilnya pun tidak optimal.

Pertanyaannya, apakah kebijakan publik yang tidak hanya bersifat kuratif, karitatif, emergency dan bersifat jangka pendek dapat dilakukan pemerintah NTT? Jawabannya “YA” apabila: Pertama, Alokasi anggaran benar-benar berpihak pada rakyat. Kedua, Bantuan emergency tidak dianggap sebagai proyek. Ketiga, Pemberantasan Korupsi harus dilakukan secara serius.

 

* Tulisan ini pernah dipublikasikan Harian Timor Expres tanggal 28 April 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun