Mohon tunggu...
Janu Wijayanto
Janu Wijayanto Mohon Tunggu... profesional -

Menulis dan kutandai jejak hidup\r\nMembaca dan kumaknai hidup\r\nKerja dan aku hidup.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Debat Tim Jokowi VS Prabowo, Kivlan Zen Anti Pancasila 1 Juni?

21 Mei 2014   06:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:18 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mencermati perkembangan proses politik di Indonesia menuju suksesi kepemimpinan nasional dalam pilpres 2014 pada mulanya datar-datar saja. Semua slogan, platform dan jargon politik yang disampaikan semua pihak selalu saja menjadi 'hal yang biasa' di dengar oleh publik di setiap perhelatan politik semacam pileg dan pilpres. Meski domainnya sebenarnya berbeda antara ranah kampanye program bagi eksekutif dan legislatif tapi taste atau citarasa pembedanya tidak nampak kental di praktek pemilu di Indonesia. Pada akhirnya menanggapi perkembangan proses politik pun datar-datar saja. Ah sudah biasa...seperti itu lagi-lagi seperti itu....

Sambil melihat-lihat beberapa artikel dan siapa tahu bisa mengakses perkembangan teori sosial terbaru saya dengar dari TV di sebelah saya yang menyiarkan Indonesia Lawyers Club (ILC), (Selasa 20 oktober 2014) terdengar statement dari seorang Mantan Kepala Staf Kostrad, Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zen yang menyoal ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dari PDI Perjuangan. Kurang lebih seperti ini pernyataannya: ..."Soal ideologi Pancasila 1 Juni itu kan hanya pidato Sukarno dan masih ada pidato lain seperti M Yamin. Pancasila 18 Agustus 1945"...  Dari pernyataan dari Kivlan Zen yang ada di kubu koalisi capres-cawapres Prabowo Subijanto-Hatta Rajasa sebagai serangan kepada koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan mempersoalkan ideologi 1 Juni Pancasila, maka ini tentu justru pernyataan yang bisa membangkitkan "Banteng nasionalis revolusioner murni yang tertidur" yang tersebar di banyak lapisan untuk "pulang kandang".  Dan ini tentu sebuah gelombang besar yang menguntungkan bagi koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mengingat psikologi 'banteng ketaton' itu tidak mengenal kalah dan menang yang terpenting maju berperang ketika terusik.

Siapakah Kivlan Zen?

Saya beruntung sekali ada google saat ini yang memudahkan kita untuk mencari informasi. Tinggal search google ketik siapakah Kivlan Zen maka informasi keluar dengan cepat. Tentu saya sudah cukup mendapatkan informasi seadanya dari yang muncul untuk tulisan ini. Saya dapat link: http://www.intelijen.co.id/kivlan-zen-sang-kontroversial-konflik-dan-integrasi-tni-ad/isinya saya kutip beberapa berikut:

"....Sebelum masuk Akademi ABRI, Kivlan sempat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara. Fakultas kedokteran dipilih semata-mata karena Kivlan ingin menyumbangkan ilmunya untuk kehidupan sosial.

Saat menjadi pelajar, Kivlan bergabung di Pelajar Islam Indonesia (1962). Pada 1965, Kivlan menjabat sebagai sekretaris Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Medan. Pada tahun yang sama Kivlan dipercaya menjadi Ketua Depertemen Penerangan KAMI Medan. Tak hanya itu Kivlan juga tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI)..." Sekarang dapat dimengerti pernyataan keberatan Kivlan Zen atas ideologi Pancasila 1 Juni 1945.

Pernyataan tersebut semakin dapat dipahami dengan melihat kutipan selanjutnya berikut ini masih dari halaman link yang sama: ....dituding masuk dalam pusaran isu persaingan “ABRI Hijau” versus “ABRI Merah Putih”

Bersama Prabowo Subianto, Kivlan berada dalam barisan “ABRI Hijau” yang dikenal dekat dengan kalangan Islam. Kelompok ini sukses melengserkan Jenderal Benny Moerdani dari kursi Panglima ABRI. Benny yang diplot menjadi wakil presiden, kabarnya didukung kelompok “ABRI Merah Putih”.

Atas inisiatif Kivlan, kelompok perwira muda eks-PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) merapatkan barisan membentuk “Group 7” untuk melawan Benny Moerdani.

Skenario “Group 7” adalah mengganjal kelompok Benny dengan menaikkan Wiranto. Atas usulan Prabowo, Wiranto berhasil menjadi ajudan Presiden Soeharto. Hanya saja, dalam perjalannya Wiranto justru dipandang mendukung Benny. Sehingga perlu dicari penggantinya. Pilihan jatuh pada Feisal Tanjung, yang sebelumnya telah dimasukkan kotak oleh kelompok Benny Moerdani.

Konflik elit TNI AD semakin menguat setelah Jenderal Wiranto menggantikan Jenderal Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI pada Mei 1993, sementara Prabowo Subianto diangkat sebagai Panglima Konstrad... (Bandingkan dengan mengamati perkembangan militer di Indonesia pada saat naiknya Jenderal Feisal Tanjung sebagai Pangab, saat itu Jenderal TNI (Purn) Wismoyo Arismunandar yang merupakan adik ipar Pak Harto yang banyak digadang-gadang bakal menjadi Pangab saat itu tersingkir, fagmentasi pun semakin menguat).

Kembali Pada Konsensus Nasional

Sangat disayangkan model pernyataan Mayjen (Purn) Kivlan Zen sebagaimana dalam perdebatan ILC. Proses suksesi kepemimpinan seyogyanya sedari awal sudah mengusung proses yang penuh sikap menghormati eksistensi yang lain. Zaman sudah berubah. Hal sebagaimana pernyataan Kivlan Zen tersebut justru mendekonstruksi gaya penampilan dan slogan yang dibawa capres Prabowo Subijanto yang tampil bak founding father Presiden Pertama RI Soekarno.

MPR RI bahkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pun mengakui 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara sudah final sebagai konsensus nasional sebagaimana diikrarkan oleh Lemhannas. Perdebatan soal ideologi PDI Perjuangan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai sesuatu yang dalam pernyataan itu mengandung makna menyalahkan tentu tidak tepat. Kalau mau fair justru banyak partai lain dalam koalisi Prabowo-Hatta Rajasa yang ber-ideologi Islam sementara Indonesia sebagai sebuah entitas negara memiliki dasar negara dan ideologi Pancasila. Merubah dasar dan ideologi negara sama saja merubah negara.

Seharusnya hal semacam ini tidak berdengung lagi di kancah diskursus debat publik dalam suksesi kepemimpinan nasional. Sebab hanya akan menggiring memori lama seperti Prabowo-Hatta Rajasa sebagai koalisi masa lalu PSI-Masyumi. Tentu ini tidak pas lagi. Pernyataan semacam itu tidak produktif dalam diskursus ruang publik yang partisipatoris. Sebab punya konotasi mencekam dan penuh represivitas dalam ranah psikologi intervensi. PDI Perjuangan tentu boleh menafsirkan pemahaman Pancasila sebagaimana Pancasila yang disyahkan 18 Agustus 1945 dengan pemahaman sebagaimana pidato Pancasila 1 Juni Pancasila oleh Bung Karno. Tentu ini lebih fair dan bermartabat bagi demokrasi tanpa adanya lagi tafsir tunggal Orde Baru yang sudah kuno dan represif itu.

Sudah saatnya Indonesia menuju kejayaannya kembali dengan mengedepankan persatuan nasional. Pemilu hanyalah instrumen konstitusional untuk mendapatkan kekuasaan. partai politik hanyalah kendaraan dan negara pun merupakan alat perjuangan untuk mewujudkan cita-cita nasional revolusi 17 Agustus 1945 sebagaimana dalam Pancasila. Salam Pancasila!!

Janu Wijayanto: Pemerhati Kebangsaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun