Mohon tunggu...
Janur Wibisono
Janur Wibisono Mohon Tunggu... Konsultan - Sub Profesional Monitoring dan Pelaporan Reklamasi Tambang Otorita IKN

Public Relations, cinematigrapher

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

IKN Ramah Lingkungan, Sekedar Jargon Belaka?

4 November 2024   17:28 Diperbarui: 4 November 2024   17:29 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Janur Wibisono -- Mahasiswa Program Pascasarjana Komunikasi STIKOM InterStudi Jakarta

Jargon Ibu Kota Nusantara atau IKN sebagai kota hijau ramah lingkungan yang digaungkan pemerintah menjadi tanda tanya besar. Klaim membangun kota tak sekadar kumpulan beton dan gedung tinggi yang menjulang, melainkan oasis hijau di tengah hiruk-pikuk perkotaan terus menjadi sorotan.

 

IKN dikenal sebagai "kota hutan" karena perannya yang vital dalam menjaga paru-paru dunia. Kelebihan IKN sebagai ibu kota merupakan topik yang menarik. Salah satunya adalah meningkatkan daya tarik negara di mata internasional, menurut Pilka & Sluka (2019). IKN dirancang sebagai kota hijau dan ramah lingkungan. Salah satu wujudnya melalui pengelolaan sampah terpadu. Nantinya, tidak ada tempat pembuangan akhir (TPA) di IKN.

Menurut data dari Otorita IKN; Penduduk IKN saat ini sebanyak 250.000 jiwa, menghasilkan sampah 250 ton per hari. Sebagian besar dari sampah yang dihasilkan merupakan sampah organik seperti makanan, dan non organik macam botol plastik. Timbulan sampah ini di luar dari sampah konstruksi yang sangat bergantung pada progres yang dilakukan selama proses pembangunan. Lepas dari itu, IKN yang dibangun dengan tujuan menciptakan peradaban baru harus mampu menangani persoalan sampah ini. Otorita IKN sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara saat ini memfokuskan diri untuk mengedukasi masyarakat melalui perubahan gaya hidup.

Di level rumah tangga, edukasi mengenai pemilahan sampah dilakukan agar bisa diolah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) dengan mudah. Kemudian di level ruang-ruang publik, reduksi penggunaan botol plastik atau medium-medium lainnya dengan bahan baku plastik terus dilakukan. Di level pelajar, edukasi dengan tajuk Sekolahku Minim Sampah yang mendorong para siswa/i Sekolah Dasar melalui kegiatan sosialisasi dan pembinaan juga rutin dilakukan. Apakah semua yang sudah dilakukan dirasa cukup?

Untuk mencapai jargon kota ramah lingkungan semua itu belumlah cukup. Perlu kebijakan yang anti mainstream. Seperti di China misalnya, penduduk yang tidak mematuhi aturan terancam denda besar dan penurunan tingkat "kredit sosial", yang berarti hak-hak ekonomi mereka bisa dicabut dan tak bisa lagi jadi "warga kota teladan". Orang dengan kredit sosial buruk, bisa tersingkir dari pekerjaan bergengsi dan tak boleh ke sekolah bagus. Dalam kasus ekstrem, mereka bisa dilarang bepergian dengan pesawat atau tak punya akses ke ruang-ruang publik. Wow sudah se-ekstrem itu mereka dalam memperlakukan sampah.

IKN yang digaungkan sebagai kota percontohan di Indonesia yang mempunyai peradaban maju, tentunya jangan alergi terhadap perubahan. Perubahan mendasar dimulai dari gaya hidup dan didukung dengan teknologi modern yang semuanya terbungkus dengan sebuah kebijakan pemerintah.

Teknologi modern yang sudah dibangun pemerintah dalam pengelolaan sampah IKN seperti TPST, diklaim sebagai termutakhir di Indonesia. TPST sebagai Tempat Pengolahan Sampah Terpadu menggunakan insenerator untuk mengurangi sampah. Meskipun sangat berperan melakukan pengurangan sampah dalam jumlah besar, insinerasi juga dapat berdampak buruk bagi lingkungan. Menurut universalco.id, Sejumlah besar gas karbon dioksida dilepaskan sebagai gas buang sehingga turut berkontribusi dalam pemanasan global. Selain itu, gas buang yang dihasilkan mengandung abu dan emisi pencemar.

Lebih lanjut, proses insinerasi juga dapat mempengaruhi kesehatan pekerjanya. Menurut Sunarto dalam penelitiannya pada 2014 lalu, pekerja atau operator insinerator (red: teknologi untuk insinerasi) kerap kali mengalami gangguan kesehatan seperti batuk kering, mata pedih, hingga napas mengi. Sehingga penerapan insinerasi harus dibarengi dengan pemantauan kesehatan dan kualitas udara secara berkala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun