Mohon tunggu...
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar tak kunjung pintar. Percaya bahwa kacamata adalah salah satu alat menutupi kebodohan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memahami Sejarah Perang Shiffin Agar Tak Suka Mengkafirkan

25 Februari 2018   11:00 Diperbarui: 25 Februari 2018   11:28 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebab dalam persoalan agama --apalagi persoalan akidah, logika yang dibangun harus jelas dan tegas; halal-haram, salah-benar. Akidah tidak bisa berwarna abu-abu. Kaidah ushul mengatakan "Persoalan akidah (ibadah) pada dasarnya adalah haram, kecuali terdapat dalil yang membolehkannya."

Selain itu, jika kita masih menganggap persoalan akidah, maka kita juga akan terjebak pada ide-ide khawarij, yakni mengkafirkan atau paling tidak menyalahkan salah satu dari keduanya, padahal antara Sayyidina Muawiyah dan Imam Ali merupakan sahabat seniornya Nabi Muhammad. Lebih-lebih Sayyidina Ali, saudara sepupu sekaligus menantu Nabi.

Nabi pernah bersabda "Semua sahabatku bersifat adil (dapat dipercaya)."

Kalangan ulama hadis yang punya kutubus sittah, mulai dari Imam Bukhari hingga Ibn Majah tidak ada satu pun yang berani mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidina Muawiyah atau Sayyidina Ali adalah dha'if. Ini artinya bahwa sebenarnya di kalangan ulama Hadis yang hidup sekitar 20-30 tahun pasca perang shiffin masih mengakui keimanan, kesalehan dan sifat adil yang dimiliki oleh mereka berdua.

Kedua,perang Shiffin semata-mata persoalan hubungan sosial-politis antar sahabat, dalam term generasi selanjutnya muncul istilah fikih, muamalah, siyasah, dll. Kaidah awal yang dibangun dalam persoalan fikih muamalah-siyasah adalah "Pada dasarnya semuanya adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

Ingat, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Kasus perang Shiffin jika ditelusuri tidak ada satu pun ayat yang secara qath'i (jelas, pasti) tentang haramnya peperangan tersebut.

Dengan demikian, kita seharusnya hati-hati dalam mengkafirkan orang lain, orang lain yang tidak sama dengan kita dalam pandangan politis, seharusnya tidak dikafir-murtad-munafikkan oleh kita, apalagi sampai tidak mau menshalatkan jenazahnya jika mati, dll.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita?.

Para ulama salaf selalu berpendapat mauqufanhu, yakni tidak berkomentar apapun terkait konflik shiffin. Kita ikut saja pendapatnya Imam Abu Hasan Al-Asy'ari bahwa perang shiffin adalah murni politis, bukan persoalan akidah. Jadi apapun yang terjadi di peperangan tersebut tidak sampai mengakibatkan kekafiran bagi mereka.

Jika masih kekeuh membela salah satu atau bahkan keduanya, mudah saja. silahkan tidak memakai hadis yang diriwiyatkan oleh mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun