Sudah dua hari terakhir ini, saya resah dan gelisah membaca diskusi di grup wasap salah satu ormas islam terbesar di endonesa. Ya, betul. NU, yang isinya gontok-gontokan disebabkan salah satu tokoh struktural-kontroversial, yakni Kang Said (bukan nama samaran) mengundang Haritanu agar berkunjung ke salah satu atau salah dua pesantren dan masjid-masjid, dan puncaknya pada penyambutan yang heboh diiringi hadroh, entah itu shalawatnya thala’al badru alaina, apa thala’al kufru alaina, dan lagi yang paling heboh, para santri bersalaman dengan Haritanu seraya mencium tangan beliau. Warbiyasah… padahal, Haritanu itu udah china, kafir lagi. Naudzubileh…
Sejak saat itu, foto para santri cium tangan pun beredar kemana-mana, banyak yang koar-koar tokoh itu telah merusak akidah islam dengan membawa orang kafir ke pesantren, agama jadi komoditas, agama kalah dengan politik, agama hancur akidahnya berantakan, dan lain seterusnya.
Keterlibatan saya di grup wasap itu tidak begitu penting sekaligus tidak sengaja, pasalnya itu gegara saya, nderekke Gus saya menghadiri bahtsul masail (bahtsu ya, bukan bajul masail), dan saya ngisi daftar hadir mencantumkan nomor hape, dua hari kemudian saya dimasukkan oleh admin, padahal saya di majlis itu tidak pernah komen apa-apa, walaupun sekedar halo assalmu’alaikum terimakasih sudah dimasukkan di grup yang penuh manfaat ini. sama sekalipun belum pernah.
Sungguh saya tidak berani komentar apapun, karena di dalamnya itu mayoritas para kyai, ya kalau tidak kyai, minimal Gus lah, alias anak kyai. Gue mah apa atuh, cuma supir yang selalu mengharapkan barokah ilmu dan doa dari kyai-kyai dan para gawagis (bentuk jamak taksir dari Gus). Sebenarnya saya juga merasa bersalah ada di grup tersebut, karena menurut teman-teman, saya itu banyak yang bilang saya kurang NU, ditambah lagi saya tidak punya kartu anggota NU (Kartanu).
Soal Haritanu yang dicium tangannya oleh para santri, salah satu anggota grup yang notebenenya Gus mengambil pendapat Ibn Hajar (entah ini ibn hajar al-atsqalani apa ibn hajar al-haitami) dan dipostingkan ke grup yang isinya lebih kurang begini: “Haram hukumnya memuliakan orang kafir jika motifnya mengharapkan harta bantuan yang diberikannya, karena Nabi pernah mengatakan barang siapa yang merendahkan diri kepada orang muslim karena hartanya, maka sepertiga agamanya telah hilang.” Selanjutnya melontarkan pertanyaan retorik (istifham inkari –kalo ilmu balaghahnya) “lalu bagaimana jika rendah diri kepada orang kafir demi mengharapkan sumbangan?.”
Dari pendapat di atas ia menyimpulkan bahwa bersikap rendah hati (baca: tawadhu’) kepada muslim dikarenakan motif harta (tamak) aja tidak boleh apalagi kafir. Dan tentunya ia mengira bahwa pesantren dan kyainya tersebut sudah menjual nama pesantrennya untuk kepentingan dunia, yakni sumbangan, hujatan itu bermuara pada status Kang Said yang dikira menjual NU dengan harga yang murah (tsamanan qalilan). Kalau cara berpikir begini kan apa bedanya kita sama Jonru Ginting yang, jalan pikirannya diisi su’udhoooon muluk sama hal begituan dan beginian. udah gitu berjamaah lagi, kan kasian kalau hidup ini diisi dengan berprasangka buruk.
Pendapat ini dimakan mentah-mentah oleh gus itu, padahal nasehat guru saya begini “kalau baca apapun itu jangan mentah-mentah, nanti bisa sakit perut, minimal harus digodog dulu, sukur bisa digoreng dikasih bumbu yang enak.” Ini bener kata guru saya, pendapat sekaligus menyandarkan pada hadith nabi itu termasuk tembakan yang melesat jauh di atas mistar gawang yang mengakibatkan bola itu kena penonton, jika dikaitkan dengan perilaku cium tangan para santri kepada Haritanu yang (jujur saya itu geli kalau menyebut kafir, atau non islam. Sebab… aaasyu dahlah…), maka para santri itu tahunya cuma kalau ada orang tua ya dihormati, kebetulan cara mereka menghormati itu dengan cium tangan.
Kan jadi tidak lucu kalau mereka hormat sama orang tua dengan cara hormat senjataaaa grak, lalu dor dor dor.
Bagi saya yang harus di block+ctrl+U dari hadis di atas adalah, jangan terlalu mendramatisir istilah kafir dan memuliakan orang kafir. Pada hakikatnya hadis di atas itu bukan bicara soal itu, melainkan soal sikap mengemis-ngemis untuk memperoleh harta itu lho yang harus diperhatikan, entah itu dengan NU, Muhammadiyah, HTI, Jamaah tabligh, Syiah, Ahmadiyah, dan sakpiturute.
Inilah bedanya hadis sama sunnah, sama seperti hadis nabi untuk memakai gamis di atas mata kaki (isbal), suatu hari ada sahabat yang protes karena abu bakar ternyata melebihi mata kaki, jawab nabi sederhana “kalau abu bakar tidak apa-apa, karena dia tidak sombong.” Gausah tanya, Lah kalau begitu nabi kan tidak sombong kenapa harus isbal?. Ya nabi kan buat tauladan, dan abu bakar punya selera sendiri, dan nabi maklum dengan selera. Sudah tak perlu panjang dan lebar penjelasannya. Hadisnya memang isbal, tapi sunnahnya adalah dilarang sombong.
Kata guru saya lagi, sombong itu pakaiannya Tuhan, jadi jangan digosob, gak boleh, dosa. Nanti Tuhan pake pakaian apa coba?. Pie perasaanem nek klambinem opo sandalem digosob?
Walhasil, di dalam grup itu ada yang pro dan yang kontra, dan masing-masing menggunakan ayat dan hadis dan pendapat ulama semua, hampir-hampir saya kebingungan membedakan benar-salah. Tapi untungnya saya hanya yakin satu hal, muslim sejati itu tidak suka marah-marah, menyalahkan orang, membenci orang yang agama lain, berprasangka buruk, dan yang paling penting adalah tidak narsis dan merasa paling benar.
Ayolah, kanjeng Nabi juga pernah kok mempersilakan orang Nasrani Najran untuk beribadah di masjid. Lah Haritanu itu cuma kunjugan, belum sampe ibadah.
Muslim yang suka marah-marah dan merasa paling benar itu, tandanya dia ngaji baru sampai thaharah, udah berhenti karena kesusu dan kebelet nikah gegara propaganda nikah muda bisa memperlancar rejeki karena sudah dijamin Tuhan in yakunu fuqara yughniyahumullah.
Semuslim dan setaat apapun kita? Apa bisa jamin kita mati nanti masih muslim? Atau sechina-chinanya dan sekafir-kafirnya Haritanu itu apa bisa jamin nanti mati masih tetap kafir?. Tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali ketidakpastian itu sendiri, saya lupa itu kalimat siapa, ya.
Terakhir, tidak perlu takut gegara adik-adik kita cium tangan Haritanu itu menyebabkan mereka murtad dari Islam atau munafik. Jelas tidak mungkin, lah wong Haritanu itu sebenarnya juga anggota NU kok. Coba baca lagi namanya itu, HaritaNU. Tunggu sebentar lagi, cepat atau lambat beliau akan dapat KARTANU, kayak presiden kita Kang Jokowi.
Padahal nih, pak jokowi mau dikasih kartanu kek, kartu muhammadiyah kek, Syiah ahmadiyah yg ses at dan kufar itu kek. Dia pasti mau mau aja. Nothing to do with religion. Hahaha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H