oleh: JANUARIO GONZAGA
Bulan jatuh di ujung rambutmu. Cahayanya, udara dan sebentuk zat padat berpendar-pendar mencari jeruji yang terbuat, mungkin, dari bintang. Jeruji itu milik kata-kata yang baru habis dilahirkan melalui kertas dan pena. Sehingga sisi-sisi bintang itu adalah labirin yang menggeser perlahan kerudung perempuan-perempuan tak bernama. Kepala mereka basah oleh rumus-rumus cinta yang dikalibagikan antara persahabatan, gelora dan masa tua. Hasil sementara pada papan score yang tertancap di hati hanya sebuah ragu yang berbuah-buah, merona warnanya, berjuntai dan dipetikcuri oleh pria-pria berjubah.Aku lalu menulis tentang perempuan berkerudung, kalimat.
yang dengan melihat mutiara di tengah mata, lahirlah peribahasa, bijak
orang-orang melempar dengan tangan bayangannya sendiri pada senja yang sebentar-sebentar muram, sepi mengerat
dan aku memilih satu, perempuan berkerudung
dengan takut yang ibarat ranting patah
tumbuh lagu melalui sisa-sisa embun
gerimis masih milik tangan-tangan tak kelihatan
requiem datang sebelum mereka berkabung. perempuan-perempuan
aku memilih satu dari neraka, perempuan berkerudung
yang ketinggalan kereta pada giliran pertama menuju surga
di saku jubah untuk setumpuk rahasia kupendamkan dirinya dengan tipumuslihat, sebuah pagi kusimpan untuk anak-anak yang masih takut cahaya
masa lalu menrekam semua kata-kata yang diucapkan dengan seribusatu alasan
sebab anak-anak dan masa lalu serupa, mengamit satu per satu jarak kepada hampa
titik yang disampai berulang, ulang lagi sebuah titik, hampa
dan aku merenggut dari hampa, hanya perempuan berkerudung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H