(by: januario gonzaga)
Kau jatuh cinta pada saat-saat yang paling genting. Saat di mana kau berpikir bahwa kau bisa memiliki segalanya, tetapi segalanya adalah kekosongan yang terus menghimpitmu. Itu ilusi yang membosankan ketika kau biarkan dirimu dengan pikiranmu menari-nari pada gerimis yang kau sebut cinta. Dan cintamu adalah gerimis bulan Desember yang hanya jatuh dengan lembut dibalut angin sepoi tanpa kehadiran dirinya.
“Itu baik menurutmu?” kau kutanya sebab tak pantas kau menemukan orang yang mencintaimu terlalu biasa menganggap moment yang kelak mungkin akan membawa beberapa perubahan.
“Aku mencintaimu sejak kau menganggap segala tentang dirimu konyol dan menyebalkan”. Kita diam karena aku tak habis membenci lelucon tentang kekonyolanku sendiri. Di sudut yang paling gelap akan kembali kuingat betapa kecemasan justeru memaksaku setiap kali aku mendekatimu. Dan bahasa paling baik untuk menafsir kecemasanku ialah kekonyolan yang tak hentinya membuka mulutmu meringkih tertawa.
Aku mengenalmu dari ribuan mata yang sempat memandangmu entah di suatu senja pada sebuah ruang tempat kuliah. Dan begini kusimpulkan dirimu sebagai yang paling sederhana di antara kata-kata indah yang kucatat pada lembaran catatan harianku, “kutatap kau lebih indah dari balik gerimis yang melukai tubuh daripada cahaya yang tumpah pada permukaan wajahmu”. Kusimpan catatan itu lengkap dengan suara yang masih mengiang di telinga, dengan wajah yang masih rinci kuingat. Tak pun kuceritakan pada teman-temanku. Diary itu kuselip di rak buku kayu.
Waktu itu, bilamana kau tak kulihat di ruang-ruang kuliah, tak kedengar suaramu dari teman-temanmu yang bercengkrama maka akan kuhadirkan gerimis dalam pikiranku untuk membuat bayangmu menari-nari pada gerimis yang jatuh di ruang kelas, di mana saja. Sebab gerimis mewakili seluruh yang bisa kucuri dalam pandanganku yang terkadang hanya sekejap. Dan memang tidak lah akan terwujud bila kupanggil dirimu di seberang sebuah jalan dan gerimis bebas menari di antara jarak yang membentang itu.
“Aku tak mungkin memilikimu seutuhnya karena itu aku tidak pernah berharap” Kau kembali dengan percakapan yang mengundangku tertawa sendiri. Kuceritakan kawan, sehabis gerimis yang kuciptakan sendiri di kepalaku, aku telah bebas melihat wajahnya dari balik gerimis yang kosong. Dan wajah itu wajah seorang yang menertawai kebodohannya sendiri. Ia telah berbalik dan air mata di matanya mungkin jatuh bersamaan dengan gerimis yang serupa cairan itu. Dan aku tak mungkin membedakan antara air mata dan gerimis yang wujudnya sama.
“Saya tidak mungkin membiarkan perasaan ini menyiksa saya. Kau sudah menceritakan semua yang membuatku merasa tak pantas memahami seutuhnya arti cinta. Namun saya hanya akan meninggalkan luka yang tak terobati ketika di sepanjang jalan yang berdebu kau mengubur dalam-dalam jarak ini”.
“Kau pengecut dengan suara hatimu. Kau mengakui sesuatu yang tak bisa kau tanggung, bukan?”
“Apa kau yakin mata hanya tercipta untuk menatap? Bukankah mimpi juga datang ketika kita memejamkan mata? Rupanya segala sesuatu diciptakan untuk maksud yang tidak selalu sama”
“Lalu kau mencintaiku untuk tidak memilikiku?”
“Cinta juga bagian dari anugerah yang diciptakan. Cinta tidak datang oleh karena kita ini memiliki jantung yang letaknya di atas rusuk. Cinta datang karena kita adalah manusia”
“Kalau begitu aku ingin kau bertanggung jawab atas cintamu. Cinta bukan jalan yang bisa dilalui oleh orang dari arah yang berbeda”
“Memang cinta bukan jalan. Tetapi bukankah arah kita dihantar melalui jalan”
Percakapan kami di sebuah senja yang kosong oleh tarian gerimis. Kala itu Desember. Seharusnya gerimis telah hadir sejak pagi tadi. Mungkin gerimis sedang bertugas di tempat lain. Sebab di mana saja semua manusia hampir pasti menggambarkan cinta dengan hal yang paling sederhana seperti gerimis. Aku tak ingin matahari. Desember lebih memberikan harapan bagi orang yang ingin jatuh cinta tanpa menumbuhkan harapan. Dan kali ini tanpa gerimis kami bercerita dari tatapan yang kosong oleh tarian gerimis. Uap yang terbang dari menara gereja hanya menabrak pada rongga-rongga hidung. Sebentar-sebentar angin melembar ke sana ke mari pada rambutnya yang bagai air terjun. Gerimis kosong pada awan yang berarak di atas kepala kami.
* * *
Setelah dia pergi aku kembali ke sebuah tabula rasa. Cinta kami gerimis yang menghasilkan saat-saat terpanjang di antara ribuan pengertian tentang sejarah. Bulan Desember tahun yang kelima gerimis dan waktu berbenturan menghasilkan bunga api yang membakar habis apa saja tentang dia dalam pikiranku. Bahkan bayangan itu pun tidak bisa kukenang melalui tikaman gerimis yang melukai sekujur tubuhku hari demi hari. Darah mengalir ke luar bersamaan dengan air yang membulat seperti menyatu dengan kulit yang terbuka. Dan mataku tak habisnya menjadi basah sebab ingatan amat keras untuk kembali membentur kisi-kisi masa lalu yang reruntuhannya ibarat puing tinggi tak tersentuh ribuan tahun.
“Kenapa di situ! Nanti sakit!”
“Ia ma. Di situ dingin!”
“Ia sayang!”
Karena suara ayah beranak dari beranda itu, aku pun pamit dengan sesal pada gerimis. Tak juga kuingat sesuatu yang manis tentang dirinya melalui gerimis. Sudah kucoba bertahun-tahun. Dia tak pernah datang bersama gerimis. Sial. Dulu sekali katamu, gerimis itu seperti peri yang menari-nari menikmati bahasa cinta di antara kita. Jarum-jarum gerimis itu laksana tali yang memanjang dan membawa kita ke pada nirwana. Kau menyuruhkan berdiam menatap gerimis sebab sebentar wajah orang yang kau cintai akan muncul diseberangnya. Tapi sekarang, satu pun iota tak terjamah oleh pikiranku yang mendongkoli gerimis selama tahun-tahun yang membosankan. Tahun pertama gerimis masih bisa kujadikan hiburanku. Tahun kedua aku melupakan gerimis karena terus menikamku. Tahun ketiga sudah habis gerimis itu ketika Desember yang sejuk dan dingin aku melahirkan anakku. Dan tahun keempat aku mengerti kerinduanku pada gerimis tumbuh bersamaan dengan anakku yang mulai memanggilku mam. Dan tahun kelima, semua tentang gerimis kembali dengan utuh hanya tanpa dirimu, sedikitpun tidak. Kosong.
* * *
Udara tidak lagi bersahabat saat kupanggil kau membaca surat dari dalam anflop. Kau berlari menerobos gerimis dari bangku ke bangku. Di belakangmu kau tinggalkan desisan angin yang menggoyangkan daun-daun bunga kamboja berwarna putih. Di hadapan kita sebuah menara Gereja yang tinggi dengan taman doa bernama Maria Angelia yang kerap dipakai orang sebagai tempat membagi cerita-cerita saat masa ret-ret. Kau kuhadapkan pada altar Gereja yang pintunya terbuka. Kita menatap semarak pesta Natal yang semakin dekat melalui pijaran lampu-lampu berwarna-warni, melalui rangkaian bunga mawar, gua natal, balon warna, bintang berekor, kapas yang menyerupai salju, rumput yang diatapi pohon cemara, patung-patung berbentuk domba, keledai dan para gembala yang mengelilingi sang bayi mungil bernama Yesus. Kau melangkah ke gerimis setelah balik menghujankan tatapanmu di wajahku. Mulutmu beku dengan bulatan air yang berjejer di atas permukaan bibirmu. Bau air mata bisa kucium dari celah-celah gerimis. Kau basahi isi surat itu dengan air mata sebelum kau membuangnya dan berlari melewati bangku-bangku yang kosong. Gerimis terus mengejarmu dengan melukai sekujur tubuhmu hingga hilang di seberang jalan yang sempit. Kupungut surat itu. Basah pada lembaran demi lembaran. Hanya tersisa tulisan ini “Surat Tahbisan Suci.”
Pada Desember yang susah payah kudamaiakan gerimis dan dirimu
Buat orang yang mengerti cinta sebagai harapan yang keabadiannya akan tiba sebagai misteri
ANGGOTA KELOMPOK SASTRA ‘DUSUN FLOBAMORA’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H