Ketika daun-daun mulai berguguran, hembusan angin kencang menggigilkan badan, dan udara beku terasa perih di hidung, aku selalu kembali teringat homeless-homeless yang terjebak diantara taman-taman kota, atau di gedung-gedung pencakar langit. Mereka itu gelandangan yang putus asa karena tak kebagian shelter yang jumlahnya sedikit. Sungguh menjadi gelandangan di Amerika amat berat. Selain faktor cuaca, hidup di jalanan juga penuh resiko. Mereka sering mengalami penganiayaan, pelecehan seksual, uangnya dicuri, dan kekurangan makanan. Sukur-sukur bisa bertahan hidup, kadang malah nyawa menjadi taruhannya.
Aku teringat cerpennya O Henry tentang Soapy, seorang gelandangan yang secara psikologis berpengalaman mensiasati penjara sebagai tempat berteduhnya selama musim dingin. Layaknya sebuah hotel, makan minum dan tidur gratis, Soapy selalu merancang beberapa taktik kejahatan ringan agar polisi memasukkannya ke dalam penjara.
Hari terakhir musim gugur. Sembari menyusuri daerah Madison Square Soapy memikirkan ide tentang makan di sebuah restoran mewah. Dalam bayangannya ia memesan roasted duck, sebotol anggur Chablis, dan begitu selesai tinggal bilang “nggak punya uang”. Mereka pasti memanggil polisi. Si Soapy optimis perjalanan tamasyanya ke hotel Prodeopun tinggal menunggu waktu saja.
Tapi nasib belum berpihak padanya. Ketika menginjakkan kakinya di restoran mewah itu, kepala pelayan curiga dengan penampilan dan sepatu butut si Soapy. Ia kemudian memanggil security dan menyeretnya keluar restoran.
Sampai di sudut Sixth Avenue Soapy mendapat ide baru ketika melihat toko yang gemerlapan dengan lampu neon. Diambilnya batu lantas Ia memecahkan kaca jendela toko itu.
“Siapa yang melakukan ini”, kata polisi.
Dengan ramah sembari membayangkan tempat pesiarnya di musim dingin si Soapy mengaku. Tapi si polisi tak menggubrisnya dan malah mencurigai dan mengejar seseorang yang lari kearah blok seberang. Si Soapy kecewa. Barangkali kalo pak polisinya orang Jawa akan berguman,“Endi ana maling ngaku” demikian kira-kira kalimat populer dalam bahasa Jawa, “Mana ada pencuri ngaku”.
Dengan gundah hati Soapy berjalan gontai di keramaian suasana Broadway. Ia melihat sebuah restoran di seberang jalan yang barangkali tak semewah tadi. Ia kemudian masuk, duduk dan memesan beefsteak, flapjacks, donat, dan pie. Disantapnya makanan di meja dengan lahap. Setengah langkah telah terlewati, pikirnya.
Dan giliran ditagih bayarannya, dengan lagak sombong Ia berkata, “Cepat telpon polisi. Jangan biarkan seorang gentelman menunggu terlalu lama.”
Lagi-lagi nasib tidak berpihak padanya. Alih-alih dipanggilkan polisi, si pelayan malah memanggil dua pelayan berbadan kekar menyeret si Soapy keluar dan melemparkannya ke trotoar. Seorang polisi yang berdiri tak jauh dari toko obat tertawa melihat adegan itu dan berjalan melenggang. Impian pesiar ke pulau impian pun sepertinya makin menjauh.
Lima blok Soapy berjalan hingga timbul semangatnya lagi untuk “ditangkap” polisi.