Paling sedikit ada dua kasus yang terkait pengoperasian dan atau pemeliharaan pembangkit di PT. PLN dengan pola kontrak Long Term Service Agreement (LTSA) di rentang waktu tahun 2004-2008 semasa Direktur Utama PT. PLN dijabat Eddie Widiono sebelum beralih ke Fahmi Moectar.
Pertama, Siemens, pada LTSA Pengoperasian dan Pemeliharaan PLTGU Muara Tawar (jawa Barat)
PT. PLN melakukan penunjukan langsung kepada PT. Siemens untuk melaksanakan pengoperasian dan pemeliharaan (Operation And Maintenance Service) Gas Turbin Pembangkit Muara Tawar dengan nilai Eur.151.775.396 (sekitar Rp.2,5 triliun). Sebelumnya pada tahun 2002, Siemens memenangkan lelang pengadaan 6 unit pembangkit gas turbin Muara Tawar. Berdasarkan LTSA yang ditandatangani Eddie Widiono sebagai Dirut PLN dan Joachim Stender sebagai CEO Siemens Nomor : 0139.PJ.063/DIRUT/2004 tanggal 9 Maret 2004 dan diduga terjadi penggelembungan harga yang signifikan.
Kedua, Rolls-Royce, pada LTSA Pemeliharaan PLTGU Tanjung Batu (Kalimantan Timur)
Pada tahun 2007 Rolls Royce memenangkan tender dan mendapatkan kontrak LTSA selama 7 tahun (2007-2014) untuk Pemeliharaan PLTGU kapasitas 50-60MW Tanjung Batu, sebagaimana yang diungkap oleh Lembaga Anti Korupsi Inggris, Serious Fraud Office (SFO) dengan Nilai kontrak sebesar Eur.21.169.500 atau hampir setara Rp287,90 miliar (Eur.1=Rp13.600 tahun 2007). Menurut dokumen SFO, Rolls-Royce melakukan pembayaran komisi sebesar 2% kepada makelar (Perantara 7) dan oknum-oknum PLN. Disebutkan juga bahwa pembayaran masih terus berlangsung hingga Juli 2013 melalui transfer ke rekening pribadi Perantara (7) di Indonesia dan Singapura.
Dalam kasus LTSA Muara Tawar, metode pengadaannya adalah penunjukan langsung untuk pengoperasian dan pemeliharaan. Sedangkan di Tanjung Batu, Rolls-Royce mendapatkan kontrak setelah memenangkan lelang bermitra dengan perusahaan nasional khusus untuk kegiatan pemeliharaan tanpa pengoperasian. Penunjukan langsung oleh PLN kepada Siemens di Muara Tawar saat itu sangat dimungkinkan jika mengacu kepada aturan pengadaan barang dan jasa di PLN. Tentunya karena mesin yang terpasang adalah merek Siemens Type V94.2. Sekiranya dilelangpun tidak akan ada kompetitor lain yang setara. Dalam metode penunjukan langsung masalah yang paling sensitif adalah menetapkan harga. Biasanya penetapannya menjadi subjektif karena hanya berdasarkan negosiasi antara PLN dan pabrikan.
Sedangkan pada kasus Rolls-Royce, yang seharusnya dimungkinkan dengan penunjukan langsung justru oleh PLN direkayasa menggunakan lelang dengan menyertakan perusahaan lokal yang tidak setara (bukan pabrikan sesuai type mesin). Sehingga lelangpun hanya formalitas saja dan supaya pengadaanya terkesan akuntabel. Seharusnya LTSA pemeliharan untuk Rolls-Royce akan lebih efektif dan efisien bagi PLN jika diperpanjang saja, ataupun ditunjuk langsung ke Rolls-Royce dengan mengacu harga kontrak sebelumnya dan mempertimbangkan performa pemeliharaan yang dilakukan selama 7 tahun masa kontrak. Penunjukan langsung ke pabrikan Rolls-Royce secara otomatis akan meminimalisir peran perantara (makelar) karena transaksi pembayaran nantinya dilakukan secara langsung antara PLN dan Rollss-Royce.
Dalam tender yang saat itu dibawah otoritas Direktur PLN yang membidangi Pembangkitan Dan Energi Primer, Ali Herman, pesertanya adalah Rolls-Wood Group, perusahaan gabungan dari Rolls-Royce dan Wood Group, serta satu perusahaan nasional, dimana pengaturan lelang semua bermuara pada perantara (7).
Peran Perantara Sebagai Penerima dan Penyalur Komisi
Dalam kasus Siemens, nilai kontrak sebesar Eur.151.775.396 ditambah lagi pembayaran variable O&M berdasarkan EOH, termasuk kategori sangat mahal. Sebagai contoh dapat terlihat dalam kontrak pada item mobilization fee yang mencapai EUR.6.263.000 (IDR.16.000, menjadi setara IDR.100.208.000.000). Harga tersebut sangat berlebihan, mahal dan tidak masuk akal. Besaran angka dalam kontrak tersebut diduga tidak terlepas dari peran perantara yang bisa mengintervensi PLN mulai dari bagian perencanaan, panitia lelang hingga oknum di PLN yang punya otoritas menetapkan pemenang lelang.
Untuk mengeluarkan komisi, diduga Siemens menerbitkan purchase order (PO.4500248430) untuk pembelian spare part Gas Turbin Muara Tawar, antara lain; stationary blade, rotating blade, compressor rotor blade, turbine disc, compressor wheel kepada sub kontraktor, Medical Business Consultant, beralamat di Tampines Singapura, sebesar EUR.3.355.000, Invoice diterbitkan tanggal 15 Juli 2004 dan pembayaran dilakukan pada tanggal 19 Juli 2004, bersamaan dengan terbitnya PO.
Siemens juga menerbitkan beberapa PO kepada perusahaan dalam negeri, PT. DKLN yang saat itu beralamat di Surabaya, diantaranya, tanggal 28 Juli 2005 sebesar Rp.1.900.311.805, QuatationNomor : 003/Q/VII/V ditandatangani oleh Direktur Utama DKLN saat itu, “MM. Dalam PO Siemens nomor : 4500516377 tanggal 22 Agustus 2005 yang ditandatangani oleh Joachim Stender dan Hery Santoso, disebutkan peruntukannya membeli “Ring 4 Siemens Gas Turbin 200E DG.14214, Muara Tawar”
Penerbitan beberapa beberapa PO tersebut oleh Siemens menjadi aneh dan terkesan mengada-ada. Bagaimana mungkin perusahaan dengan reputasi internasional sebagai salah satu produsen gas turbin terbesar di dunia membeli spare part turbin kepada perusahaan konsultan kesehatan (Medical Business Consultant) dan perusahaan lokal sekelas DKLN. Diduga pembayaran-pembayaran melalui PO ini hanyalah modus operandi Siemens dalam menyalurkan pembayaran komisi kepada perantara. Dalam klarifikasinya, CEO Siemens, Josef Wintar, tidak membantah tuduhan tersebut dan berjanji akan melakukan penyelidikan secara internal.
Kesimpulan
Dalam pengadaan LTSA pengoperasian dan atau pemeliharaan di PLN apapun metodenya tetap saja ada peluang perantara bermain untuk menerima dan menyalurkan komisi. Apabila pengadaanya dengan penunjukan langsung, seperti Siemens di Muara Tawar, biasanya kantor pusat pabrikan tidak mengeluarkan komisi secara langsung kepada perantara, akan tetapi digunakan perusahaan-perusahaan sebagai sub kontraktor yang akan menerima pembayaran dari pabrikan melalui PO fiktif yang diteruskan kepada perantara dan selanjutnya oleh perantara disalurkan kepada oknum-oknum yang berperan di PLN. Cara ini akan lebih aman karena sub kontraktor bebas audit keuangan sekiranya ada pemeriksaan di kemudian hari.
Sedangkan apabila pengadaannya dilakukan melalui lelang, maka pabrikan akan menggandeng perusahaan lokal sebagai mitra, baik dalam bentuk konsorsium ataupun kerja sama operasi. Perusahaan lokal tersebut nantinya yang bertanggung jawab mengurus komisi kepada perantara dan melakukan pembayaran-pembayaran lainnya. Kasus menang lelang yang terjadi pada Rolls-Royce adalah pengecualian, dimana urusan komisi, fee, uang mundur/perusahaan pendamping dan lain-lain seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan nasional yang menjadi mitra. Sehingga jika Rolls-Royce juga diwajibkan oleh perantara untuk membayar komisi 2%, maka bisa jadi itu hanya sekedar untuk tambahan saja.
Dalam kasus Rolls-Royce yang terjadi sebenarnya lebih tepat disebut PEMERASAN bukan SUAP. Pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum PLN yang berkuasa saat itu dengan menggunakan perantara (makelar) sebagai perpanjangan tangan. Lelang tersebut dibuat hanya untuk menaikkan posisi tawar perantara bahwa yang bersangkutan sangat berkuasa dan punya akses ke direksi PLN yang menetapkan pemenang. Pada dasarnya, mau ditunjuk langsung ataupun dilelang, tetap saja Rolls-royce yang harus melaksanakan pemeliharaan, karena pabrikan tersebut adalah O&M nya untuk PLTGU Tanjung Batu.
Mengingat modus operandi kasus Siemens dan Rolls-Royce mirip sama dan terjadi pada rentang waktu yang hampir bersamaan, dimana penentu kebijakan sebagai direksi PLN pada saat itu juga masih orang-orang yang sama (Eddie Widiono-Ali Herman, dkk), maka tidak tertutup kemungkinan yang bermain sebagai perantara, juga adalah orang-orang yang sama, atau paling tidak saling berkaitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H