Siemens juga menerbitkan beberapa PO kepada perusahaan dalam negeri, PT. DKLN yang saat itu beralamat di Surabaya, diantaranya, tanggal 28 Juli 2005 sebesar Rp.1.900.311.805, QuatationNomor : 003/Q/VII/V ditandatangani oleh Direktur Utama DKLN saat itu, “MM. Dalam PO Siemens nomor : 4500516377 tanggal 22 Agustus 2005 yang ditandatangani oleh Joachim Stender dan Hery Santoso, disebutkan peruntukannya membeli “Ring 4 Siemens Gas Turbin 200E DG.14214, Muara Tawar”
Penerbitan beberapa beberapa PO tersebut oleh Siemens menjadi aneh dan terkesan mengada-ada. Bagaimana mungkin perusahaan dengan reputasi internasional sebagai salah satu produsen gas turbin terbesar di dunia membeli spare part turbin kepada perusahaan konsultan kesehatan (Medical Business Consultant) dan perusahaan lokal sekelas DKLN. Diduga pembayaran-pembayaran melalui PO ini hanyalah modus operandi Siemens dalam menyalurkan pembayaran komisi kepada perantara. Dalam klarifikasinya, CEO Siemens, Josef Wintar, tidak membantah tuduhan tersebut dan berjanji akan melakukan penyelidikan secara internal.
Kesimpulan
Dalam pengadaan LTSA pengoperasian dan atau pemeliharaan di PLN apapun metodenya tetap saja ada peluang perantara bermain untuk menerima dan menyalurkan komisi. Apabila pengadaanya dengan penunjukan langsung, seperti Siemens di Muara Tawar, biasanya kantor pusat pabrikan tidak mengeluarkan komisi secara langsung kepada perantara, akan tetapi digunakan perusahaan-perusahaan sebagai sub kontraktor yang akan menerima pembayaran dari pabrikan melalui PO fiktif yang diteruskan kepada perantara dan selanjutnya oleh perantara disalurkan kepada oknum-oknum yang berperan di PLN. Cara ini akan lebih aman karena sub kontraktor bebas audit keuangan sekiranya ada pemeriksaan di kemudian hari.
Sedangkan apabila pengadaannya dilakukan melalui lelang, maka pabrikan akan menggandeng perusahaan lokal sebagai mitra, baik dalam bentuk konsorsium ataupun kerja sama operasi. Perusahaan lokal tersebut nantinya yang bertanggung jawab mengurus komisi kepada perantara dan melakukan pembayaran-pembayaran lainnya. Kasus menang lelang yang terjadi pada Rolls-Royce adalah pengecualian, dimana urusan komisi, fee, uang mundur/perusahaan pendamping dan lain-lain seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan nasional yang menjadi mitra. Sehingga jika Rolls-Royce juga diwajibkan oleh perantara untuk membayar komisi 2%, maka bisa jadi itu hanya sekedar untuk tambahan saja.
Dalam kasus Rolls-Royce yang terjadi sebenarnya lebih tepat disebut PEMERASAN bukan SUAP. Pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum PLN yang berkuasa saat itu dengan menggunakan perantara (makelar) sebagai perpanjangan tangan. Lelang tersebut dibuat hanya untuk menaikkan posisi tawar perantara bahwa yang bersangkutan sangat berkuasa dan punya akses ke direksi PLN yang menetapkan pemenang. Pada dasarnya, mau ditunjuk langsung ataupun dilelang, tetap saja Rolls-royce yang harus melaksanakan pemeliharaan, karena pabrikan tersebut adalah O&M nya untuk PLTGU Tanjung Batu.
Mengingat modus operandi kasus Siemens dan Rolls-Royce mirip sama dan terjadi pada rentang waktu yang hampir bersamaan, dimana penentu kebijakan sebagai direksi PLN pada saat itu juga masih orang-orang yang sama (Eddie Widiono-Ali Herman, dkk), maka tidak tertutup kemungkinan yang bermain sebagai perantara, juga adalah orang-orang yang sama, atau paling tidak saling berkaitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H