Lama aku berdiri memandang kedalam rumah itu. Kususuri  cerita yang sudah lebih dari 50 tahun berlalu. Ketika  aku masih sekolah di Taman kanak-kanak, aku mempunyai 3 kucing yang menjadi sahabat-sahabatku, yaitu Bledug, Brewok dan Kamus.
 Suatu ketika Kamus mati karena keracunan, aku menangis meraung-raung minta dikembalikan agar kucing itu hidup kembali. Ibuku dengan telaten dan sabar memberi pengertian bahwa kucing itu tidak bisa hidup lagi dan harus dikubur agar tidak membusuk. Kurasakan getaran kasih sayang ibu saat itu  menyergap kalbuku kini.
Orang tuaku mempunyai home industrybatik, jadi rumah tidak pernah sepi karena banyak karyawan yang bekerja kadang-kadang sampai malam hari. Aku masih ingat waktu itu, kalau  permintaan pasar terhadap barang yang diproduksi  meningkat , maka hari minggupun karyawan tetap bekerja. Lalu ayahku memutar cerita pewayangan dan dengan pengeras suara yang ditaruh diruang pembatik , karyawan yang bekeja dapat terhibur , bahkan kadang-kadang karyawan juga ikut uro-uro.
Pun juga kalau ada ketoprak Siswo Budoyo menggelar  pertunjukan  di kotaku, maka ayahku memborong tiket selama pertunjukan berlangsung dan setiap malam 2 tiket diberikan pada satu karyawan secara bergilir. Aku dan kakaku jadi sering ikut nonton kadang bersama bapak ibu atau bersama asisten rumah tangga.  Pada saat itu ketoprak tersebut sangat terkenal terutama dalam lakon Api di Bukit Menoreh, yang naskah aslinya di karang oleh SH Mintardjo.
Begitu juga bila ada pertunjukan wayang orang, ayahku juga membeli tiket untuk para karyawan. Aku juga menonton bersama bapak ibu serta kakak-kakaku, bahkan aku sampai hafal dengan cerita tentang Gatotkoco Gandrung dan Pergiwo Pergiwati.Â
Inilah yang mendorong aku untuk belajar  menari  Jawa yang tentunya mendapat support dari orang tuaku. Dan ketika aku menari di panggung maka ibuku tidak pernah absen memberikan semangat. Juga ibu selalu mendampingiku bila aku mengikuti beberapa lomba termasuk lomba deklamasi.
Kugiring mataku untuk membuka pintu ruang tamu. Disini dulu aku sering bercengkerama bersama teman2ku. Lalu aku masuk ke ruang tengah, ruang yang luas itu sekarang sudah diisi dengan bangku bangku kecil berwarna warni. Dulu dipojok kanan terdapat meja tulis ayahku dengan telpon diatasnya. Telpon dengan warna hitam dan putaran disebelah kanan. Nomor telpon rumahku hanya 2 digit.Â
Yaitu 18! Jangan dibayangkan seperti sekarang, tiap orang memegang telepon seluler atau hp. Pada abad ke 20, telepon rumah saja tidak semua orang punya! Komunikasi lebih banyak dengan face to face atau dengan surat. Â Kuteruskan langkah khayalku ke ruang makan, sebuah teras yang menghadap ke halaman belakang.Â
Tidak terlalu luas tapi cukup untuk menampung kami  sekeluarga. Kami menamakan mejanya dengan "mejo dhahar", lucu sekarang mendengarnya! Bila waktu maghrib tiba, ayahku selalu mengabsen anak-anaknya untuk mengikuti sholat berjama'ah, kalau ada yang masih diluar rumah pada waktu maghrib dipastikan akan kena sanksi.Â
Setelah sholat magrib lalu kita makan bersama, duduknya selalu tetap, bapak ibu, nenek, aku dan kakaku yang masih SD serta kakaku yang di SMA, dua kakaku yang lain sudah kuliah diluar kota. Kami makan bersama sambil bercerita. Demikian pula bila pagi hari, ayahku selalu membangunkan anak-anaknya untuk sholat subuh berjama'ah, setelah itu dilanjutkan membaca al-Qur'an.
Pernah suatu kali aku tidur bersama orang tuaku waktu masih kelas 2 SD. Ketika aku sudah riyep-riyep mau tidur, kudengar ortuku berdiskusi tentang suatu hal yang aku tidak mengerti. Tapi ada kalimat yang disampaikan ayah yang rupanya menancap tajam dalam sanubari. Ditengah hidup yang penuh dengan iming-iming duniawi saat ini, kalimat itu muncul kepermukaan bawah sadarku : Aku tidak akan memberi makan anakku dari barang haram!