NKRI Sebuah Negara Tanpa Partai
Pancasila, UUD’45 dan NKRI memiliki keterkaitan yang erat dan merupakan grand design bangsa Indonesia. Bila proklamasi hanya dapat mengantarkan bangsa Indonesia pada pintu gerbang kemerdekaan, maka pelaksanaan design secara benar merupakan kunci yang dapat membuka pintu gerbang kemerdekaan sehingga anak – anak bangsa bisa masuk kedalamnya. Namun antara design dengan bangsa Indonesia memiliki titik kelemahan yang cukup besar. Seperti halnya sebuah lukisan dalam sebuah pigura dengan dimensi lain diluarnya, ada retakan – retakan dalam kaca pigura yang mudah pecah dan membuat dimensi lain masuk merusak lukisan tersebut. Retakan tersebut berupa mentalitas manusia sebagai pelaksananya
Bangsa Indonesia memiliki mental budak akibat terlalu lama mengalami penjajahan. Mental budak inilah yang membuat bangsa Indonesia begitu mudah menerima ide dan gagasan yang dapat merusak design yang telah dibuatnya sendiri. Maka dengan alasan potensi fasisme dalam UUD’45 pihak imperialis – kapitalis melalui berbagai macam perjanjian lalu melakukan penekanan dan bangsa Indonesia pun melakukan pergantian UUD’45 dengan konstitusi RIS kemudian selanjutnya UUDS 50 sebagai bentuk ketidak berdayaan. Akibatnya terjadilah untuk pertama kali deformasi pada design bangsa. Partai – partai berdiri, bentuk Negara berubah menjadi RIS, lembaga kepresidenan tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Puncak deformasi terselenggaranya pemilu tahun 1955 yang mengakibatkan frgamentarisasi masyarakat dan kekacauan pada sistem ketatanegaraan. Kekacauan ini disadari oleh Presiden Sukarno, lalu lahirlah dekrit presiden yg berisi kembali pada UUD’45.
Sistem kepartaian dan pemilu tidak sesuai dengan design yang telah dibuat oleh pendiri bangsa. Ini disebabkan sistem kepartaian dan pemilu bertentangan dengan asas musyawarah mufakat sebagai metode dalam menegakan kedaulatan rakyat.  NKRI sejatinya adalah sebuah negara tanpa partai. Oleh karena itu dalam UUD’45 tidak dijumpai satu pasal pun yang mengisyaratkan penyelenggaraan pemilu yg diikuti partai – partai dengan hak pilih rakyat sebagai pembenarnya. Pelaksanaan pemilu yang diikuti oleh partai – partai merupakan implementasi dari pasal 34 konstitusi RIS dan pasal 35 UUDS50 padahal ke dua konstitusi tersebut adalah hasil penetrasi bangsa imperialis – kapitalis kepada bangsa Indonesia. Dengan demikian sesungguhnya pemilu dan partai adalah bukti kemenangan kaum komprador dalam menguasai negeri ini
Fakta ini disadari juga oleh presiden Suharto. Ini yang menyebabkan beliau tidak pernah mendirikan partai tetapi memperkuat sebuah golongan besar untuk menampung berbagai macam kelompok dalam masyarakat untuk bermusyawarah mufakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Golongan besar ini bernama Golongan Karya ( GOLKAR ). Bila pada awal berdirinya NKRI fasisme menjadi alasan bagi bangsa imperialis – kapitalis untuk mengeksploitasi mental budak bangsa ini, pada pemerintahan Suharto ketergantungan ekonomi menyebabkan mental budak pun kambuh dan terselenggaralah pemilu
Untuk mengingatkan pada seluruh anak – anak bangsa bahwa dirinya tidak mampu melakukan perlawanan terhadap tekanan  imperialis – kapitalis presiden Suharto pada tahun 1972 mengubah tanggal 17 agustus menjadi hari ulangtahun republik Indonesia ( HUT RI ) bukan hari proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Ini artinya, presiden Suharto sedang memberitahu anak – anak bangsa lain bahwa dirinya tidak melaksanakan UUD’45 tapi UUDS 50 karena yang menyatakan tanggal 17 agustus 1945 sebagai HUT RI hanya terdapat pada pembukaan UUDS 50
‘Kepatuhan’ bangsa Ini pada bangsa imperialis – kapitalis terus berlanjut setelah mundurnya presiden Suharto. Bila sebelumnya mental budak mengakibatkan anak – anak bangsa tak mampu mengadakan perlawanan secara keseluruhan maka pada era reformasi mental tersebut telah membuat anak – anak bangsa dengan riangnya menerima penjajahan atas ide dan gagasan oleh imperialis – kapitalis. Bentuk kegembiraan tersebut dinyatakan melalui amandemen pada UUD’45. Ini tentu saja menjadi sesuatu yang ironis dan konyol : Apa yang menjadi alasan amandemen UUD’45 jika UUD’45 itu sendiri mulai dari NKRI berdiri sampai hari ini belum pernah dilaksanakan?Tidak berlebihan jika kecurigaan pantaslah kita alamatkan pada kepentingan bangsa imperialis – kapitalis atas amandemen tersebut
Lumbung Untuk Menegakan Kedaulatan Rakyat
Dalam lintasan perjalanan sejarah bangsa Indonesia  musyawarah mufakat telah melahirkan Bangsa Indonesia ( 28 oktober 1928 ) dan tercapainya kemerdekaan Bangsa Indonesia ( 17 agustus 1945 ) serta telah membentuk NKRI ( 18 agustus 1945 ). Oleh karena itu musyawarah mufakat merupakan jatdiri bangsa sehingga proses musyawarah mufakat harus menjadi metode yang selalu digunakan dalam menegakan kedaulatan rakyat agar cita – cita bangsa indonesia untuk “ Mengangkat Harkat dan Martabat Hidup Rakyat dapat tercapai “.
Harkat dan Martabat itu tercermin pada saat rakyat memiliki posisi untuk membangun aturan – aturan dasar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak bertentangan dengan hukum – hukum Tuhan. Kita menyebutnya dengan istilah Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan rakyat ini ditegakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) sesuai yang diamanatkan oleh pasal 1 ayat 2 UUD ‘45 (asli ). Wewenang MPR berdasarkan pasal 3 UUD’45 ( asli ) adalah menetapkan UUD dan GBHN sebagai aturan – aturan dasar NKRI. Dengan demikian MPR sejatinya harus memainkan peran sebagai perwakilan rakyat atau dapat juga dikatakan sebagai lembaga bangsa.
Persoalan kemudian muncul dengan kehadiran DPR yang merupakan perwakilan partai- partai dari hasil pemilihan umum ( pemilu ) dalam susunan keanggotaan MPR. Keberadaan anggota – anggota DPR dalam MPR ini merupakan kooptasi lembaga negara terhadap lembaga bangsa. Hal ini disebabkan DPR berdasarkan pasal 19 UUD’45 ( asli ) berfungsi sebagai legislatif bersama – sama dengan presiden dan mahkamah agung yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif dan legislatif berperan sebagai lembaga negara