Mohon tunggu...
Janoary M Wibowo
Janoary M Wibowo Mohon Tunggu... -

Pembaca tanda

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tidak Ada yang Sia-sia

2 Oktober 2012   15:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:21 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jatuh cinta adalah momen politis, seperti debat orang-orang pintar (bijak bukan kata yang tepat untuk mereka, sepertinya) di televisi. Kita perlu memilah-milah apa yang perlu dihiraukan, apa yang tidak. Ambil saja contoh, kau pikir kau jatuh cinta pada seorang perempuan. Cara perempuan itu duduk dan menyilangkan kaki. Atau cara dia menarik bibirnya membentuk lengkung senyum yang terkesan dibuat-buat; ada sela di antara kedua gigi depannya yang menolak terlihat ketika tersenyum. Atau gerak lehernya ketika dia menoleh ke arahmu. Bahkan aksen aneh ketika perempuan itu mengatakan 'nggak'. Bisa jadi semua tadi menjadi citraan-citraan yang membuatmu bertanya pada dirimu sendiri berulang kali tanpa berusaha menjawabnya, "apakah dia yang ditakdirkan untukku?"

Lalu bagaimana dengan sendawanya yang keras itu. Atau cara dia berjalan; menunduk dan bungkuk bukan cara yang anggun untuk berjalan. Belum lagi ketika dia beralasan agar dia tak perlu mandi; kamar mandi adalah tempat mengerikan yang kebanyakan film horor menyajikan kengerian puncak di sana. Bisa jadi semua itu membuat imejnya di kepalamu terkesan lucu, bahkan konyol. Tiba-tiba di kepalamu berdengung pertanyaan, "apakah dia pantas untuk kucintai?" tapi, begitulah menariknya jatuh cinta. Kau akan mengulang berkali-kali jawaban untuk menutupi dengung pertanyaan tadi, tidak ada manusia sempurna di dunia ini.

Jatuh cinta adalah momen utopis, seperti perenungan panjang orang-orang atas penanggulangan masalah korupsi. Cita-cita orang banyak adalah selesainya korupsi sebagai permasalahan. Kita perlu punya tujuan dan cara mencapainya. Seperti ketika kau pikir seseorang yang kaucintai adalah sosok yang tak sempurna. Tapi, kau tetap mencintainya, mengapa? Karena dalam dirinya, kau menemukan tanda-tanda atas apa-apa yang kau inginkan dan tak kau temukan dalam dirimu sendiri. Cara dia marah dan berapi-api yang membuatmu berpikir bahwa dia punya ambisi atas sesuatu, apapun itu. Sementara ketika kau melihat dirimu sendiri, kau begitu pesimis, hanya mengikuti alur, begitu fatalis.

Atau cara dia menampilkan diri, aura yang disampaikan kepada orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang dilahirkan dengan kelebihan seperti itu; dia memasuki ruangan dengan diam-diam, dan tetap mampu membuat semua orang menoleh padanya lalu mengucap 'hai' sambil tersenyum. Seakan-akan seisi ruangan bergerak ke arahnya. Sedangkan kau adalah tipe orang yang masuk ruangan dengan terbahak-bahak atau menari-nari, dan membuat seisi ruangan menoleh sebentar untuk berkata dalam pikiran mereka, "oh, dia sudah datang." lalu ruangan kembali sibuk dengan diri mereka masing-masing. Jatuh cinta adalah kesempatan untuk memperoleh mimpi-mimpi baru. Atau menumbuhkan mimpi-mimpi lama.

Jatuh cinta bisa jadi membawa momen-momen traumatis kembali, seperti perbincangan warung kopi tentang bagaimana menghilangkan korupsi di muka bumi ini. Kita selalu tergoda untuk mengatakan "mau bagaimana lagi?" setelah mengalami tiap upaya yang dilakukan menemui kegagalan. Semenyenangkan apapun jatuh cinta; sebuah lagu menyebutkan jatuh cinta sebagai yang berjuta rasanya, tetap saja muncul pikiran, "bagaimana jika jatuh cinta kali ini membuatku lebih patah hati dari kemarin?"

Jatuh cinta selalu berujung pada patah hati; barangkali ditinggal kekasihnya atau dalam keadaan yang romantis adalah sepasang kekasih yang hidup sampai tua lalu salah satunya meninggal. Barangkali di sinilah letak traumatis itu. Bahkan ketika kita memahami bahwa jatuh cinta itu di luar diri kita; dia bisa menyergap kapan saja. Kita tidak mampu menolak ketakutan atas patah hati. Hanya jatuh cinta yang bisa membuatmu patah hati. Dan patah hati tidak pernah menyenangkan.

Mengutip kata Heracliptus, tidak siapa pun bisa mengunjungi sungai yang sama dua kali. Setiap jatuh cinta dan setiap patah hati selalu berbeda, meski dengan sosok yang sama. Seperti orang yang sama mengunjungi sungai yang sama dua kali. Di permukaan sepertinya masih sungai yang sama, orangnya masih bernama itu juga. Tapi bebatuan di bawah sungai itu berubah. Arus sungai pun berbeda. Bahkan angin yang membelai rambut atau suhu air yang menyentuh kaki sudah berbeda. Yang jelas, orang itu sudah lebih tua dari ketika dia datang kali pertama.

Namun, entah itu momen politis yang membingungkan; atau momen traumatis yang menakutkan, bahkan momen utopis yang menyenangkan, jatuh cinta tetap tak mampu dijelaskan dalam kata-kata. Bukankah kata-kata itu aturan-aturan kaku produk pikiran atau logika? Boleh jadi, kita memaksakan diri untuk mendefinisikan sesuatu. Menangkap sesuatu ke dalam kata-kata. Jatuh cinta adalah kesiapan dan kerelaan untuk takut, bingung, bahagia, atau terluka. Atau apa saja. Jatuh cinta adalah kesiapan dan kerelaan mengalami dan melakukan yang semestinya.

Dan semestinya, pendefinisian tentang jatuh cinta dalam tulisan ini perlu dihentikan. Jatuh cinta datang dari sesuatu yang di luar diri. Kita tidak bisa mengundangnya datang, atau menahannya tinggal ketika sudah pergi. Kita hanya perlu siap dan rela mengalaminya. Seperti udara yang kita hiruphembuskan setiap hari. Bersyukur ketika menghirup, bersyukur ketika menghembuskan. Bersyukur ketika jatuh cinta, bersyukur pula ketika patah hati. Atau jangan-jangan jatuh cinta dan patah hati itu tidak ada. Yang ada hanya, tidak ada yang sia-sia. Mari bersyukur!

Bekasi, 1 oktober 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun