Sebagai politisi berlatar belakang dokter, Chris terlihat tak canggung dan segan melakukan beragam kegiatan di bidang kesehatan di daerah-daerah yang menjadi basis konstituennya. Misalnya saja program pengobatan gratis keliling rutin yang dilakukannya sejak menjadi anggota legislatif, yang lantas bertambah sekaligus menjalankan program vaksinasi ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada 2020.Â
Kegiatan yang ternyata secara reguler terus dilakukannya hingga saat ini tiga kali seminggu, dan terus berkembang ke banyak daerah termasuk dengan pengobatan gratis "jemput bola" ke masyarakat yang lokasinya susah akses atau takut ke fasilitas kesehatan terdekat karena era pandemi.
Selain kegitan rutin di bidang kesehatan, Chris juga tak segan mengeluarkan dana dari kocek pribadi untuk persoalan-persoalan masyarakat.Â
Dalam catatan yang penulis akses dari media lokal, Chris pernah membantu membangun jembatan darurat yang menghubungkan Kelurahan Airnona dan Nunleu di Kota Kupang, yang hancur karena badai Seroja pada April 2021.Â
Titian yang harus dilewati dengan bertaruh nyawa karena hanya berwujud sebuah pohon Sepe yang tumbang dan melintang menjadi perantara dua kelurahan di atas bantaran kali yang cukup dalam.Â
Bagitu pula kegiatan bekerja sama dengan komunitas karang taruna di sejumlah kelurahan untuk pemberian bantuan cek medis dan sembako kepada para lansia dan kalangan tak punya secara rutin.
Boleh dan sah-sah saja jika ada pandangan khalayak yang menganggapnya hanya sekadar pencitraan politik, demi misi, keinginan atau kepentingan politik apapun. Namun juga sah-sah saja dan tidak ada larangan aturan legal formal hingga konstitusi jika seseorang melakukan pekerjaan sesuai job desk alias tugas pokok dan fungsi sebagai seorang wakil rakyat. Bahkan itu justru sesuatu yang seharusnya menjadi tugas dan kewajian para legislator pada umumnya. Yang penting, adalah demi the greater good atau kebaikan bersama.
Output dari pencitraan politik - in a good way - pada masyarakat yang kian cerdas, umumnya adalah proses "menandai" siapa para pemimpin yang memang tulus, memiliki dedikasi dan berorientasi pada kepemimpinan untuk mengabdi pada publik. Sehingga pada ujungnya, ada sense of awareness alias popularitas atau tingkat "kedikenalan". Kemudian dari kenal atau tahu berkembang menjadi likeability atau tingkat disukai/ afeksi publik terhadap figur, yang lazimnya kemudian mengerucut pada referensi untuk dipilih sebagai pemimpin.