Start from the scratch. Setidaknya itulah bayangan konstelasi pemilihan presiden (pilpres) 2024 mendatang, ketika Presiden Joko Widodo sudah selesai dengan jabatan dua periodenya. Mungkin masih ada sosok Prabowo Subianto yang adalah “muka lama” dalam kontestasi, yang sudah berjuang sejak pilpres 2004 (melalui konvensi Partai Golkar dan gagal), dan berlanjut pada 2009 sebagai cawapres (mendampingi capres Megawati Soekarnoputri) dan dua kali mencoba peruntungan sebagai capres pada 2014 dan 2019 silam.
Namun hingga detik ini belum muncul sepatah kata pun dari mulut Prabowo secara langsung dan rigid, apakah akan kembali menggapai asa sebagai capres. Kebanyakan rencana maju kembali di Pilpres 2024 muncul dari lingkaran dalam Partai Gerindra dan pemerhati politik. Oleh karena itu, boleh dibilang kandidat capres lainnya adalah sosok-sosok yang belum pernah mencalonkan diri dan berjuang dalam kompetisi suksesi kepemimpinan nasional selama ini. Oh ya mungkin ada sosok Sandiaga Uno yang pernah mendampingi Prabowo sebagai cawapres pada Pilpres 2019, yang kini menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) di kabinet Indonesia Maju. Sosok yang dianggap akan ikut meramaikan pilpres 2024, entah sebagai capres atau cawapres kembali.
Dus, selain Prabowo dan Sandiaga, nama-nama lain yang kini digadang-gadang akan bergelut dalam kompetisi pilpres 2024 adalah orang-orang baru. Deretan nama yang kerap muncul dalam banyak survei atau jajak pendapat publik atas nama rating popularitas, elektabilitas dan akseptabilitas. Selain tentu saja inisiatif dari mereka sendiri atau lingkaran dekatnya yang mulai “mencuri start kampanye” demi memoles imaji atau citra politik kepada khalayak ramai melalui beragam cara.
Sah-sah saja memang, selama tidak melanggar aturan dan konstitusi. Karena memang sebagian besar dari sosok-sosok baru itu didominasi oleh para kepala daerah, pejabat negara, ketua umum partai politik hingga menteri-menteri di kabinet saat ini. Mulai dari promosi kinerja sesuai jabatan atau kapasitas profesional masing-masing, hingga yang sebatas memoles keterkenalan diri melalui beragam platform promosi baik daring (media sosial/ internet) dan luring ataupun luar ruang (media massa konvensional, spanduk, billboard dll). Sebut saja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketua DPR RI Puan Maharani, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menko Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Sosial Tri Rismaharani hingga nama yang cukup baru seperti Menteri BUMN Erick Thohir. Semuanya memiliki cara dan jalur tersendiri menuju kompetisi pilpres 2024, jika memang memiliki keinginan untuk memimpin khalayak ramai Indonesia.
Nama-nama itu pula yang mendominasi hasil survei terbaru yang dirilis oleh lembaga Indikator Politik Indonesia (IPI) pada 12 Desember 2021. Selain menampilkan rating per individu, survei IPI juga berupaya melakukan simulasi dengan memadu-padankan sejumlah tokoh sebagai pasangan capres-cawapres, yang dianggap memiliki daya tarik tinggi bagi para pemilih pada pilpres 2024. Dan menarik ketika ternyata pada proses padu-padan inilah muncul sejumlah sosok yang dianggap bisa menjadi pasangan kuda hitam pada pesta elektoral 2025 mendatang, seperti sosok Erick Thohir misalnya.
Pendatang baru di dunia politik seperti Erick Thohir mampu merebut perhatian publik, karena mampu menyodok rating tinggi ketika dipasangkan dengan tokoh lainnya. Misalnya saja simulasi pasangan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan Erick Thohir, yang ternyata memiliki rating keterpilihan tertinggi sebesar 31,1 persen, dibandingkan pasangan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Ketua DPR RI Puan Maharani (28,1 persen) maupun pasangan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan Menparekraf Sandiaga Uno (30,8 persen). Begitu pula ketika Erick dipasangkan dengan Anies, masih menempati peringkat ketiga dengan 28,2 persen, di bawah Prabowo-Puan (29,9 persen) dan Ganjar-Airlangga (28,8 persen). Hal itu bisa dimaknai bahwa nama Erick Thohir sudah mulai masuk ke memori publik, dan dianggap layak sebagai salah satu kanddiat cawapres potensial pada pilpres 2024. Memang, selisih antar pasangan ketika dibongkar-pasang dan dipadu-padankan ini tipis, alias belum ada yang mendominasi satu sama lainnya.
Erick sendiri moncer popularitasnya sejak masih menjadi pengusaha muda, sebagai founder Grup Mahaka yang juga memiliki minat besar pada olah raga. Pada 2013, Erick mengakuisisi saham kepemilikan Inter Milan Italia hingga 70 persen seharga Rp 250 juta Euro, hingga membuatnya menjabat posisi Presiden Inter Milan. Erick juga tercatat memiliki saham di klub sepak bola Amerika, D.C. United dan juga pernah sebagai pemilik klub bola basket NBA Philadelphia 76ers. Di kancah olah raga nasional, Erick menjadi pemegang saham di klub sepak bola Persib Bandung. Dan kiprah terbesarnya adalah ketika ia dipercaya menjadi Ketua Panitia Pelaksana Asian Games 2018. Pada selanjutnya, karir politik sejatinya mengerucut saat ditunjuk oleh Presiden Jokowi menjadi Ketua Tim Pemenangan Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019 dan dipercaya menggawangi Kementerian BUMN.
Dan kini, nama Erick mulai konsisten menghiasi panggung pemberitaan di publik, terlebih karena posisinya yang cukup strategis membawahi perusahaan-perusahaan negara yang kerap mendapat stigma berkinerja kurang bagus, kalau tidak boleh dibilang lebih sering merugi. Sejumlah terobosan dalam upaya mereformasi dan mentransformasi pengelolaan bisnis dan manajerial BUMN-BUMN itu, membuat nama Erick semakin melejit saking banyaknya persoalan yang mendera korporasi-korporasi pelat merah itu. Salah satunya karena berani dan mampu membongkar sejumlah borok korupsi besar di dalamnya, seperti misalnya kasus PT. Garuda Indonesia (Persero) dan PT. Asuransi Jiwasraya (Persero). Begitu juga ketegasannya melakukan perampingan jumlah BUM hingga memangkas gurita bisnis anak dan cucu perusahaan BUMN yang terkadang tidak jelas juntrungannya terkait mekanisme pembentukan, struktur organisasi hingga kinerjanya yang tak optimal sehingga hanya menjadi parasit bagi induknya. Pada saat bersamaan, torehan prestasinya pun terlihat ketika langkah mengefektifkan manajemen sejumlah BUMN mampu mengefisienkan biaya operasional dan pengeluaran, melecut kerja para punggawanya yang pada akhirnya menggenjot laba sejumlah BUMN.
Sudah pasti banyak yang menilai bahwa sejumlah langkah dan kiprah Erick yang mulai rutin muncul di ekspose media nasional, merefleksikan hasrat atau kasarannya ambisi politiknya di masa depan. Sesuatu yang dipandang sebagai upaya atau jalan yang lazim setiap politisi dalam memupuk modal sosial demi mengerek popularitas, penerimaan dan pada akhirnya keterpilihan, jika berbicara soal politik elektoral. Dan kembali lagi, tidak ada yang salah dengan mengejar karir politik sepanjang sesuai koridor hukum, dan tidak menyeruduk aturan formal dan konstitusi. Apalagi jika memang memiliki kualifikasi, kompetensi dan kapasitas kepemimpinan serta manajemen di tingkat nasional, plus rekam jejak juga visi misi bersih dari korupsi.