Oleh : Jannatul Makwa
Mahasiswa PPG Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Sebenarnya apa sih yang menjadi faktor terjadinya kekerasan di satuan pendidikan?. Hal tersebut masih menjadi tanda tanya yang sangat besar dibenak kepala setiap orang. Jika berbicara tentang lingkungan pendidikan, pasti pikiran langsung terbesit dengan kata "sekolah". Belakang ini, banyak sekali  kejadian-kejadian kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, pelaku-pelakunya berasal dari orang yang berpendidikan. Miris sekali mendengar berita-berita yang sedang marak terjadi di lingkungan pendidikan, bagaimana mungkin seorang yang berpendidikan melakukan perbuatan yang mencerminkan orang yang tidak berpendidikan. Beberapa faktor menjadi alasan bagi para pelaku kekerasan, mulai dari kesenjangan ekonomi, tempramen, emosi, nilai moral, tekanan yang dialami murid dan guru serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya. Faktor yang paling mendasar yakni nilai moral, adab dan karakter yang belum sepenuhnya tumbuh dengan baik disetiap individunya. Bagaimana langkah yang harus kita ambil untuk mengatasi kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan supaya tidak ada kekerasan lagi yang berkelanjutan?.
Menteri pendidikan, Nadiem Makariem secara resmi meluncurkan peraturan menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi nomer 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek ppksp) sebagai Merdeka Belajar Episode ke-25. Peraturan dilayangkan sebagai episode lanjutan merdeka belajar, dengan harapan kekerasan yang marak kian ramai di satuan pendidikan tidak lagi ada episode berkelanjutan. Upaya yang dilakukan dalam menangani permasalahan kekerasan yang dilakukan di lingkungan satuan pendidikan tersebut memang patut diacungi jempol, namun bagi oknum-oknum pelaku kekerasan tersebut tidak akan memiliki rasa takut hanya dengan sekadar dikeluarkannya peraturan dari pemerintahan. Kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah bukan karena sebelumnya diberi kebebasan tanpa ada peraturan. Di setiap lembaga pasti akan memiliki peraturan-peraturan yang harus dipatuhi. Poster-poster, edukasi dan pelatihan sering kita temui di lingkungan pendidikan. Bukan karena buta huruf dan tak memahami peraturan yang ada di lingkungan satuan pendidikan, mungkin saja buta hati dalam setiap nurani para pelaku kekerasanan. Nah, sekadar meluncurkan peraturan tidak akan membuat ketar-ketir setiap orang yang mempunyai pikiran melakukan kekerasan. Mereka butuh bimbingan dari dalam, pembentukan karakter yang harus ditanam di sanubari. Tak sekadar ditanam, tapi dipupuki dan dirawat sepenuh hati, supaya hatinya tak mati.
Seperti konsep merdeka belajar yang dijunjung kini, bukan hanya dibimbingi dan belajar materi saja. Hati nurani juga perlu diimbangi, supaya tak menjadi hati yang mati. Yang harus menjadi merdeka bukan hanya siswa, tetapi guru dan para pelaku pendidikan lainnya. Supaya tidak ada alasan lagi kekerasan yang terjadi berlandaskan tekanan dan belenggu-belenggu yang terjadi di lingkungan pendidikan. Menjadi manusia yang sadar, sadar bahwa pendidikan harus memerdekakan. Pengajaran budi pekerti dan budaya luhur menjadi suatu hal harus dilaksanakan di lingkungan pendidikan, supaya siswa dan pelaku pendidikan lainnya tidak hanya sekadar pintar dalam hal kemampuan mata pelajaran semata. Namun sikap dan adab perlu kita perhatikan lebih mendalam, mengingat pesatnya budaya-budaya barat masuk dan memengaruhi anak-anak bangsa. Perundundungan di kelas, adab yang tidak baik kepada orang yang lebih tua, kata-kata yang tidak sopan untuk diucapkan, merupakan hasil dari meniru tontonan-tontonan yang jejaring sosial yang tak dapat dihindarkan. Maka dari itu, pentingnya di lingkungan pendidikan terutama di sekolahan, siswa tidak hanya diajarkan materi pelajaran saja, namun juga karakter dan budi pekerti yang baik. Guru di kelas memiliki peran ganda, bukan hanya sekadar sebagai pengajar tetapi sebagai penuntun serta teladan bagi siswa-siswanya. Seperti halnya tiga gagasan yang dikemukakan Ki hajar Dewantara yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso,dan  tut wuri handayani. Seorang pendidik hendaknya ketika berada di depan memberi teladan, pendidik juga selalu berada di tengah untuk terus menerus memotivasi dan memprakarsai, pendidik juga harus selalu mendukung dan mendorong peserta didik untuk maju. Jika tiga gagasan ini telah diterapkan oleh guru (pendidik), maka guru akan dapat membentuk kemanusiaan anak dalam belajar meliputi pengetahuan, sikap, dan karakter dari siswa.
Dengan hal inilah siswa akan merasa senang, aman dan nyaman ketika berada di sekolah. Pembentukan karakter sendiri akan menjadi salah satu pencegahan terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah. Selain pendidikan karakter yang harus lebih ditegaskan di lingkungan pendidikan, sikap religius juga perlu lebih diajarkan di lingkungan pendidikan. Sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki ciri khas kereligiusan, guru di sekolah juga perlu menanamkan nilai-nilai keagamaan sebagai bekal menjalani kehidupan sehari-hari. Ketika siswa di sekolah menerapkan nilai-nilai keagamaan, maka tidak perlu dikhawatirkan lagi akan adab dan kesopanannya. Mereka akan tahu batasan-batasan yang tidak sesuai dengan agama serta karakter mereka akan lebih unggul. Pendidikan karakter, religuitas, budi pekerti, pengenalan budaya luhur menjadi faktor-faktor yang dapat mentiadakan kekerasan di lingkungan pendidikan. Perlu diperjelas lagi, bahwa faktor-faktor tersebut tidak hanya ditanamkan dan dipeljari oleh siswa semata, namun oleh guru, kepala sekolah, komite sekolah dan para masyarakat di lingkungan pendidikan juga harus sadar akan hal tersebut. Ketika seluruh masyarakat yang berada di lingkungan pendidikan sadar akan hal tersebut, maka tidak akan lagi ada kekerasan yang akan terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H