Museum Negeri Provinsi Jawa Barat berlokasi di Jl. BKR No.185, Pelindung Hewan, Kec. Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat. Tepatnya, di seberang Taman Tegallega. Museum ini didirikan pada tahun 1974 dan diresmikan pada tanggal 5 Juli 1980 oleh Dr. Daud Yusuf sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa jabatannya. Pada tahun 1990, museum ini berganti nama menjadi Museum Negeri Provinsi Jawa Barat Sri Baduga.
Nama Sri Baduga diambil dari nama seorang raja di Kerajaan Padjajaran yang terkenal sakti, akrab dengan rakyatnya, dan bijaksana—Sri Baduga Maharaja. Koleksi yang dipamerkan di museum ini terdiri dari bermacam benda bersejarah, seperti arca zaman megalitik, rumah adat, perkakas, pakaian adat, permainan, dan alat musik tradisional. Bangunan Museum Negeri Provinsi Jawa Barat Sri Baduga mirip dengan bentuk rumah panggung khas Jawa Barat. Untuk tiket masuk dapat dibeli pengunjung dengan harga Rp.3000 untuk dewasa dan Rp.2000 untuk anak-anak. Museum ini dapat dikunjungi pada hari Selasa-Jumat pukul 08.00 – 16.00 WIB, dan Sabtu-Minggu pukul 08.00 – 14.00 WIB, tutup pada hari Senin/libur nasional.
Ketika berkunjung ke Museum Sri Baduga, Anda akan bertemu dengan berbagai macam peninggalan sejarah, salah satunya adalah Bale. Tepat di lantai tiga, sebelah kanan di dekat tangga, Bale ada disana. Pada abad 19-20, Bale digunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat kampung. Umumnya diletakkan di depan rumah bangsawan di Cirebon. Untuk menerima tamu, tuan rumah melakukan pertemuan di Bale.
Bangunan Bale dibangun tanpa dinding dengan tujuan agar setiap tamu yang datang merasa “terbuka”. Mudahnya akses bagi tuan rumah dan tamu untuk mengadakan pertemuan dan melakukan musyawarah. Ruangan ini ini dibangun terbuka agar terhindar dari cuaca panas dan memudahkan penggunanya untuk melakukan kegiatan apapun disana, kerap kali juga digunakan untuk kegiatan belajar anak-anak bangsawan. Saat ini, Bale yang ada di Desa Sirnabaya, Cirebon masih digunakan untuk melantik Kepala Desa yang akan diangkat dan seluruh masyarakat dapat menyaksikannya.
Bale disusun dengan tiang-tiang dengan kolong di bawahnya, mirip dengan rumah panggung. Jika tingginya melebihi lutut manusia, tersusun pula pijakan anak tangga agar mudah untuk duduk di dalamnya. Denah Bale berupa bujur sangkar atau persegi panjang dengan atap limas.
Jika diurutkan dari bagian terbawahnya, Bale terdiri dari beberapa bagian, diantaranya:
- Umpak, yaitu alas tiang yang terbuat dari batu bata yang bermaterial batu alam utuh. Di Cirebon, disebut “ganjel”.
- Tiang atau disebut juga saka, berbahan kayu balok segi empat. Menggunakan kayu yang besar dan kuat agar dapat menahan keropos yang diakibatkan cuaca karena Bale diletakkan di halaman rumah. Tiang ini jumlahnya genap, mulai dari empat, enam, atau delapan.
- Lincar atau waton, diletakkan di bagian pinggir lantai palupuh. Kayu yang besar dan kuat dilempengkan. Kedua ujung Lincar diruncingkan agar dapat mengikat bagian bawah Bale.
- Darurung atau dlika yang terbuat dari balok kayu. Letaknya ada di bawah palupuh, disusun saling tindih dan menyilang. Berfungsi sebagai tempat dipasangnya palupuh.
- Palupuh, digunakan sebagai alas atau lantai di Bale. Terbuat dari bambu yang dibelah menjadi lempengan.
- Atap atau rangken, dari alang-alang. Sebagian atap Bale dususun dari material tersebut dan terpisah dari kerangka atap agar dapat diganti dengan alang-alang baru.
- Cangkolan rangken, digunakan sebagai substitusi paku untuk melekatkan rangken pada kerangka atap.
- Adeg atau ander, terbuat dari satu batang kayu yang dipasang tegak lurus di atas pangaret.
- Sepatu atau tarumpah adeg, dipakai agar adeg dapat berdiri stabil.
- Pangeret, yaitu tempat bertumpu ander dari kayu balik.
- Pamikul atau panglari, penghubung pangaret satu dengan pangaret lainnya.
- Pupurus, yakni kayu yang diruncingkan sebagai pengganti paku untuk menghubungkan masing-masing bagian Bale.
Berdasarkan fungsinya dalam konteks budaya, Bale ini digunakan untuk melestarikan jalinan hubungan antar manusia untuk berbincang, bertukar pikiran, dan belajar. Konteks budaya yang menjadi salah satu pola persepsi, juga berkaitan dengan konteks sosial. Manusia yang secara nalurinya memiliki sifat sosial yang membutuhkan interaksi dengan manusia lain, Bale dapat difungsikan sebagai tempat pertemuan dan melakukan musyawarah. Bentuk Bale yang dibangun tanpa dinding juga mendukung suasana hangat dan mendorong keterbukaan pelaku komunikasi.
Hal-hal tersebut memegang kendali erat saat ini, mengingat pertemuan antar manusia terus berjalan secara langsung karena memang tidak dapat dipisahkan dari budaya yang sudah tertanam di dalam diri tiap individu yang harus bersosialisasi. Pemanfaatan video call untuk mengadakan pertemuan dapat menjadi jalan pintas bagi masyarakat seluruh dunia. Namun, interaksi secara tatap muka masih terus dilakukan semua orang. Musyawarah dan silaturahmi tetap terus berjalan dengan semestinya, meskipun teknologi terus berkembang.
Nilai Komunikasi Antar Budaya daripada Bale dapat dijadikan pelajaran. Walaupun fitur yang dimiliki teknologi berkembang saat ini merajalela, hubungan interpersonal tidak dapat dipisahkan. Makna pesan pada tiap pertukaran informasi yang dilakukan secara langsung dan tatap muka dapat dipandang lebih besar, karena suasana dapat mendukung keefektifan proses komunikasi. Maka dari itu, hal ini menjadi simpulan pada narasi diatas.
Referensi: