Mohon tunggu...
Aang Salman Alfarisi
Aang Salman Alfarisi Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Mahasiswa Tingkat Dewa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Valentinsiana] Venice

14 Februari 2014   14:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Aang Salman Alfarisi+Idda Iliyas (18)

Ilustrasi: http://roblfc1892.deviantart.com/



***

Byarrr…!! Telepon genggamhitam itu beradu dengan cermin setelah sebelumnya melayang di atas potretmu yang kususun rapi.

“Dengarkan penjelasanku dulu, yang. Pliss…” Suara itu sayup-sayup masih terdengar berkali-kali diantara pecahan kaca.

***

Akhirnya sampai juga di Shuttle Airport setelah menempuh perjalanan 16 jam. Melewati dua musim dan kota yang berbeda. Pantas memang, perbedaan waktu dengan negaraku enam jam membuatku Jetlag.

“BuonaseraRudi, sahabat lamaku menyapa dengan penuh bahagia.

“Buonasera troppojawabku.Maklum, memangdi negara ini bahasa seperti itu yang digunakan sehari-hari.



Venezia, 2 Januari 2013

Tidurku tidak nyenyak tadi malam, setelah sebelumnya saling berbalas pesan elektronik dengan sahabatku sewaktu kuliah.

“Sabar rud, barangkali tidak semua yang aku lihat itu benar, sudah dua tahun kalian tidak bertemu”. balasnya diakhir percakapan, mencoba menenangkanku.

***

Venezia, 12 Februari 2013

Aris meninggalkanku sendirian setelah menghabiskan secangkir cappuccino miliknya. Seorang klien menelepon dan meminta untuk bertemu dengannya.

Hubungi aku kalau ada apa-apa ya, Rud.Katanya sambil terburu-buru keluar dari tempat ini.

Sudah satu jam lamanya aku berada di coffee shopini sendirian.Mematungmemandang jauhke arah deretan gondola apung yang berjajar di tepi sungai tak jauh dari cafe ini.Wajar memang, kota ini merupakan kota apung  sehingga semua transportasinya menggunakan jalur air.

Aris menepati janjinya, pukul 11.00 dia kembali ke coffee shop dengan wajah sumringah.

Setelah makan siang aku traktir naik gondola ya. Katanya bersemangat.

“Siapa takut.” Jawabku tak kalah semangat.

Naik gondola merupakan impianku sejak di bangku kuliah. Sejak aku mengenal Ratih, pacar pertama sekaligus terakhirku yang meninggal dalam kecelakaan kapal bersama selingkuhannya beberapa waktu yang lalu. Selalu ada perasaan rindu yang menderu, setiap kali mengingat gurat senyum di wajahnya. Aku tidak mau menyianyiakan kesempatan ini.

Setelah menghabiskan sisa-sisa cappuccino di cangkirku, kami bergegas menuju pinggiran sungai tempat dimana gondola-gondola berjejer rapi menunggu penumpang.

“Aku paling depan ya, Ris.Aris hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Aku pun segera melompat dan duduk dibagian paling depan.

Gondolier mulai mendayung gondola, selalu di salah satu sisi gondola.

Tak ada percakapan, kami sibuk dengan imajinasi masing-masing,  setiap kali melewati kanal-kanal diantara gedung yang airnya teramat bersih tanpa sampah. Kapan negaraku bisa seperti ini, gumamku.

Aris menepuk pundakku saat gondola berhenti disebuah tempat yang mempertontonkan pemandangan menakjubkan. Detik-detik matahari mulai terbenam, sore yang teramat indah, jingga terpancar dari air yang seakan menyulam diam, berpendar ke setiap wajah yang berada di atas gondola.

Kutatap satu per satu penumpang gondola ini, Aris, Roberto, Del Nero dan seorang gondolier yang jelas menyunggingkan senyum yang teramat khas untukku. Aku berdiri dan merogoh saku celana kananku. Sebilah pisau kukeluarkan dan kuhujamkan tepat pada jantungku. Aris dan kedua rekannya berusaha menggapaiku. Tubuhku mulai melamas. Darah mengucur mengotori air sungai yang jernih. Menyatu bersama bias senja yang perlahan menghilang, ada guratan senyummu di dalamnya

BYURRR!

Aku tenggelam bersama segala kenangan tentang Ratih, kekasih pertama dan terakhir yang meninggalkanku begitu saja, semoga dia bisa menjelaskannya setelah ini.

***

Jakarta, 15 Januari 2013

“Anton, sepertinya kado ulang tahun untuk Rudi ketinggalan di rumah.” Kataku sembari mengecek isi koper.

“Terus bagaimana? Kapal pesiar ini akan segera berangkat.”

“Aku tidak bisa berlayar tanpa membawa kado itu, Anton. Kado itu sangat berharga. Aku ingin memberikannya pada Rudi.”

“Tapi kapal ini tidak akan menunggu kita untuk kembali pulang hanya untuk mengambil kado berhargamu itu kan, Ratih?” Nada bicara Anton mulai meninggi.

Hari ini seharusnya aku dan Anton pergi bersama kapal pesiar menuju ke tempat dimana Rudi akan pulang. Perusahaan tempat Anton bekerja memberi bonus kepadanya berupa tiket kapal pesiar untuk dua orang. Anton mengajakku karena ia tahu bahwa aku sangat ingin menikmati perjalanan panjang dengan kapal pesiar dan fasilitas mewahnya. Selain itu aku juga ingin memberi kejutan kepada Rudi.

Beberapa hari yang lalu aku dan Rudi bertengkar hebat di telepon.

“Seorang temanku melihatmu di sebuah restoran bersama seorang lelaki dan kalian sangat mesra” kata Rudi dengan nada tinggi. Menuduhku berselingkuh.

Lelaki itu bukan selingkuhanku, Rud. Dia Anton. Anak dari...” belum selesai aku menjelaskan, Rudi sudah mencercaku dengan banyak tuduhan hingga akhirnya telepon terputus dan hingga saat ini tak ada kabar baik yang berarti di antara kami.

***

Jakarta, 14 Februari 2013

Aku menatap gundukan tanah penuh bunga dan batu nisan bertuliskan namamu. Satu persatu pelayat pergi meninggalkan tempat ini. entah bagaimana ini semua bisa terjadi.

“Rudi mendengar berita tenggelamnya kapal pesiar yang di dalamnya ada dirimu dan Anton. Dia mengira kau ikut menjadi korban.” Aris memecah keheningan. Dia berdiri tepat di belakangku dengan kemeja panjang dan celana bahan kain warna hitam.

“Rudi tak tahu bahwa kau membatalkan pergi. Dan tentang Anton, sampai detik terakhir hidupnya, dia masih mengira bahwa Anton adalah selingkuhanmu.”

Tangisku semakin pecah.

Maafkan aku, Rudi. Kau tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Kau  tahu aku mencintaimu. kau tahu bahwa di sini aku menunggu kepulanganmu. Namun bukan kepulangan seperti ini yang aku mau.

Bergabunglah bersama kami di :

FB Fiksiana CommunityTwitter Fiksiana CommunityFiksiana Community di Kompasiana

Baca Fiksi Valentine lainnya DI SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun