Pertengahan tahun 2010, setelah enam tahun merantau, saya memutuskan pulang dan berencana menetap di kampung halaman. Namun, saya kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa lingkungan yang menjadi tempat tumbuh kembang adik-adik saya (dan anak cucu saya kelak) bukanlah lingkungan yang ideal. Pindah ke belahan bumi lain? Saya kira percuma, sebab permasalahan yang dihadapi remaja di mana pun pada zaman sekarang sama saja.
Berusaha membangun lingkungan yang lebih kondusif
Meskipun kita sudah berusaha semaksimal mungkin menciptakan situasi kondusif di rumah, menjadi role model yang baik, mendidik anak dengan sebaik-baiknya, tetapi pengaruh pergaulan tidak bisa dihindarkan. Apalagi remaja cenderung lebih gampang meniru teman sebaya, ikut-ikutan karena tak mau tersisihkan dari pergaulan. Namun, tak mungkin kita mengalienasi mereka dari lingkungan, sebab dampaknya akan sama mengerikan.
Rupanya sahabat lama saya, Abas, merasakan kegelisahan yang sama. Dia sempat mengambil tindakan cukup frontal. Ketika mendapati para remaja mabuk misalnya, tak segan dia mengomeli, mengancam, bahkan cenderung ringan tangan. Pakai urat, istilahnya. Berharap mereka takut dan kapok untuk mengulangi.
Sayangnya cara-cara seperti itu jauh dari efektif. Dinasehati orangtua saja tidak mempan apalagi oleh orang lain. Siapa loe? Begitu mungkin pikir mereka. Meskipun di lingkungan kampung mereka tidak lagi berani ‘macam-macam’ karena malas diresein, mereka memilih menyingkir ke tempat yang jauh dari jangkauan, yang justru semakin menyulitkan untuk memantau mereka.
Saya lantas mengambil pendekatan berbeda, yaitu berbaur dan bergaul dengan cara mereka meski tidak lantas membuat saya ikut-ikutan. Saya cukup menahan diri untuk tidak usil. Ketika mereka minum-minum, ngobat atau membicarakan pengalaman seksual mereka yang tidak sehat, saya tak otomatis berubah menjadi sosok penceramah. Saya pura-pura santai saja, padahal hati ngegeremet (saya tidak tahu padanan katanya dalam bahasa Indonesia).
Begitu merasa nyaman dan menganggap saya bagian dari mereka, bukan bagian dari orang-orang dewasa yang usil, yang mereka anggap tak paham dunia remaja, saat itu mereka akan terbuka, tidak ada yang berusaha mereka sembunyikan.
Dan, inilah yang kemudian saya dapatkan :
Seks bebas itu lumrah
Tidak afdol jika pacaran tanpa hubungan seks. Hingga muncul ungkapan, “Kalau pacaran ngobrol doang mah mending pacaran sama nenek gue aja.” Pokoknya setiap kali pergi mengapeli pacar, pulang harus ‘basah’ (istilah mereka ketika berhasil berhubungan seks). Apalagi akses ke konten pornografi semakin mudah. Awalnya nonton video porno, lalu terbiasa masturbasi, lalu muncul keinginan untuk mencoba yang lebih, bagaimanapun caranya.
Karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, pada akhirnya perilaku seks tidak bertanggung jawab tidak terelakkan. Beberapa kali terjadi kasus hamil di luar nikah. Sebagian selesai dengan solusi menikahkan mereka, ada yang tidak menikah tetapi meminta uang kompensasi sekian juta (?), ada juga yang sampai melahirkan tetapi kemudian bayi diberikan kepada orang lain. Dan kejadian-kejadian miris tersebut cuma jadi gonjang-ganjing sesaat, tak ada langkah untuk mengantaisipasi agar kejadian serupa tak sampai terulang.