Spot satu ini selalu bersinar dan disebut-sebut tatkala bulan Ramadhan tiba. Pasar lama yang berada di pusat Kota Tangerang menjadi pusat keramaian terlebih lagi banyak food vlogger yang mendokumentasikan pengalamannya disana.
      Beginilah kesan yang saya dapat pertama kali saat berkunjung. Didampingi kawan yang kebetulan sama sama penasaran, kami kesana pukul setengah empat sore. Tampak lalu lintas mulai padat dan mobil-mobil mulai parkir di sepanjang jalan menuju pasar tersebut.
      Suasana langit yang mendung juga gerimis tak menyurutklan animo masyarakat untuk berburu takjil disana. Terlanjur sudah kami sampai disana, kami pun segera memarkirkan motor yang dijaga warga lokal. Perlahan-lahan kami mulai memasuki area pasar yang berbentuk barisan memanjang ke selatan jalan.
      Nampak dari arsitektur klasik bangunan baik di kiri dan kanan jalan menerangkan kalau area tersebut adalah kawasan lama. Tak jauh  di sebelah timur terdapat Stasiun Kota Tangerang sehingga pengunjung dari luar kota pun bisa leluasa berkunjung.
      Sepanjang jalan dipenuhi oleh jajanan dan makanan beraneka ragam. Bahkan karena beragamnya jajanan yang tersedia bikin pengunjung jadi bingung apa yang mau dibeli termasuk saya sendiri. Dari jajanan tradisional hingga jajanan modern atau mancanegara tersedia disini. Kalau ditanya tentang harga, rata-rata jajanan disini masih dibilang terjangkau semua.
      Temanku lantas membeli es kocok alpukat dan ceker ayam pedas. Satu lagi, ia juga membeli pancake berbentuk koin. Sembari berjalan sampai ujung kami tak sengaja menemukan pedagang kaki lima yang menjual makanan tak biasa yakni sup biawak, ular dan sejenisnya. Sedetik kemudian kami menyadari jika wilayah tersebut ternyata bukan hanya dihuni muslim saja namun juga nonmuslim.
      Mata terus saja memperhatikan tiap tiap sudut gerobak pedagang, entah karena penasaran atau karena antusias melihat pedagang yang menyajikan dagangannya. Contohnya tukang cilor dengan teknik gulungan tangannya, tukang seafood dengan kecepatan tangannya menumis gurita, tukang takoyaki yang berjibaku dengan loyang bolanya, tukang eskrim durian yang dengan mantap mengaduk es.
      Lantas aku tertuju pada pedagang yang menurutku beda dengan yang lain. Mereka menjual jamu rempah-rempah di tengah-tengah pedagang jajanan, unik, kontras tapi interaktif. Yang menarik dari pedagang jamu ini adalah meracik jamu langsung di tempat dengan menggunakan rempah-rempah yang masih segar. Sebut saja kencur, jahe, kunyit, kayu manis, temulawak, jeruk nipis dan lain-lain. Memarut di depan pembeli untuk memastikan kesegaran bahan yang dipakai. Memaksa pembeli sabar untuk menunggunya.
      Hari kian sore, aku memesan jahe merah susu yang cocok dengan cuaca saat itu, mendung dan dingin. Pengunjungpun makin ramai baik tua maupun muda berkerumun di sepanjang jalan Pasar Lama.  Usut punya usut, juara jajanan di tempat ini adalah eskrim durian. Benar saja, saat kami berjalan arah pulang telah banyak pengunjung mengerumuni pedagang tersebut.
      Berhubung waktu telah menunjukan pukul lima lebih, kami harus stand by di Masjid Al-A'dzom untuk bertemu teman kami yang satunya. Sekedar tips saat berkunjung ke Pasar Lama, pastikan untuk selalu menjaga barang bawaan terutama dompet dan handphone.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H