Mohon tunggu...
Iman Kurniawan
Iman Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger & Jurnalis Warga

Pernah menjadi jurnalis di Surat Kabar Harian Radar Pat Petulai (FIN Group) di Kabupaten Rejang Lebong dari tahun 2010 sampai media tersebut resmi tutup pada tahun 2018. Saat ini mengais rezeki sebagai freelance writer dan blogger.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sensasi Media Online, Kita Makan Mentah-mentah

17 Januari 2016   11:15 Diperbarui: 17 Januari 2016   11:44 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Di era komunikasi yang semakin dimudahkan ini, hampir seluruh masyarakat, terutama di perkotaan masing-masing memiliki gadget atau telepon pintar. Meskipun dengan gadget harga termurah sekalipun, masyarakat sudah bisa mengakses informasi internet, di mana dan kapan saja.

Gadget tak lagi digunakan hanya sebatas mengakses media sosial, tetapi sebagian orang sekarang sudah mulai merambah ke media online. Melalui gadget ini, kita bisa mendapatkan informasi dengan cepat, bukan per jam lagi, tetapi sudah per detik, informasi di media online ini silih berganti.

Ada ratusan bahkan mungkin ribuan media online yang bertebaran di gadget kita. Mulai dari media online profesional, hingga media online kelas “ecek-ecek”. Media online profesional tentunya adalah media online yang terdaftar secara resmi (berbadan hukum) dan memiliki struktur jelas dan menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik yang benar. Media online ecek-ecek ini, media online milik personal atau milik sekelompok orang dengan maksud dan tujuan tertentu (tidak berbadan hukum). “Ecek-ecek” bukan berarti kualitasnya kalah dari media resmi. Bahkan, dari segi keakuratan dan kedalam informasi, media “ecek-ecek” ini jauh lebih baik.

Lantas, apakah dengan bertebarannya media online ini masyarakat bisa semakin cerdas? Belum tentu. Sebab, sebagian besar masyarakat kita belum mampu mencerna sebuah informasi dengan baik dan benar. Semua informasi “dimakan” mentah-mentah. Bahkan parahnya, masih banyak masyarakat yang hanya membaca judul beritanya saja, tanpa membaca isi berita. Diperah lagi, banyak berita online antara judul dan isi berita tidak nyambung.

Media online pun sepertinya mampu membaca peluang dan memanfaatkan selera pembacanya. Sebab, (menurut analisa saya) media online tidak lagi memperdulikan isi, tetapi yang terpenting bagaimana mencapai jumlah pengunjung (rating) yang banyak. Tujuannya tentu profit (iklan). Bagaimana tidak, ketika judul berita bombastis tadi kita “klik” ternyata isinya hanya tiga paragraf saja. Dan terkadang isinya tidak sesuai dengan judul berita, yang sudah menjurus kepada kesimpulan akhir. Tetapi, masyarakat sudah “termakan” dan ramai-ramai membicarakannya, heboh!

Dalam menyajikan sebuah informasi, media online mengutamakan kecepatan. Seberapapun informasi yang diperoleh di lapangan, segera ditayangkan. Dengan judul yang bombastis tentunya, padahal belum tentu akurat. Di sini pembaca melupakan atau tidak paham dari satu berita masih ada berita lanjutannya, biasa disebut running news. Terkesan, tidak apa-apa tidak akurat di awal, toh masih ada running news nya atau hak jawabnya. Tetapi mengabaikan, jika masih banyak pembaca yang tidak paham running news. Pembaca mendapat informasi sepotong-sepotong.

Keterlambatan melakukan hak jawab atau konfirmasi ini menjadi fatal. Karena, informasi yang disebar terlanjur dimakan mentah-mentah oleh pembaca. Apalagi, media online memperoleh sumber berita bukan dari orang yang berkompeten. Sekarang lagi trend, media online memberitakan apa yang sedang heboh dimedia sosial. Misalnya saja, ibu-ibu yang di-bully karena berfoto selfy di depan teroris Sarinah menggunakan tongsis. Dan belakangan terungkap bahwa ternyata foto tersebut ternyata hanya editan orang tak bertanggungjawab. Masyarakat mudah percaya, apalagi sumber berita tersebut dari portal media online resmi. Sayangnya, portal berita online tersebut tidak menggali lebih dalam atau berusaha melakukan konfirmasi keaslian foto saat itu juga. Karena sudah terlanjut heboh di awal, pembaca “kehilangan” informasi lanjutannya. Dan ibu tadi sudah terlanjut terkenal, bukan karena prestasinya, tetapi karena di-bully banyak orang.

Dari mana masyarakat kita memperoleh informasi? Rata-rata masyarakat kita memperoleh informasi dari media sosial. Seperti facebook, twitter dan youtube. Kebanyakan masyarakat membaca berita online, setelah berita tersebut di-share ke media sosial. Baik itu di-share langsung oleh akun berita atau di-share oleh masyarakat umum. Sangat jarang masyarakat kita yang dengan sengaja, secara khusus langsung membuka portal media online tertentu.

Sebab itu, jika ada berita heboh walaupun belum tentu benar, seketika itu juga menjadi ramai dibicarakan. Masyarakat tidak tahu, setelah berita tersebut masih ada berita lanjutannya. Meskipun belakangan ada hak jawab atau konfirmasi berita, sayangnya berita di awal lebih ramai dibicarakan atau di-share ke publik media sosial, ketimbang hak jawabnya. Sehingga masyarakat akhirnya tidak mendapat informasi yang berimbang.

Karena itu menurut analisa saya media onlie kita hanya mengutamakan sensasi. Tanpa memperhatikan hak pembaca untuk memperoleh informasi yang baik dan benar, akurat dan berimbang, berita yang memenuhi unsur 5W+1H. Seperti baru-baru masyarakat diheboh berita kejaksaan membakar tv rakitan buatan masyarakat. Media online sepertinya paham selera pembaca yang hobinya membully. Media onlie terkesan mengikuti selera pembaca, dengan memojokkan institusi kejaksaan. Tidak mengupas lebih dalam, mengapa sampai tv rakitan itu dibakar. Bahwa tv rakitan yang dijual di pasaran tersebut menggunakan merek televisi terkenal. Bahwa penjual tidak menjelaskan secara gamblang dan terang bahwa televisi yang dijual adalah televisi rakitan yang memang layak diperjual belikan dan memenuhi syarat bahwa televisi tersebut tidak membahayakan atau memberikan jaminan kelayakan kepada pelanggannya. Media online tidak mengupas UU perlindungan konsumen, bahwa konsumen berhak mendapatkan televisi yang bersertifikat dan  berlabel SNI resmi, pertanda bahwa televisi tersebut memang layak digunakan. Kalau memang kita mendukung televisi rakitan menggunakan merk telivisi lain, kita juga harus konsisten mendukung handphone rakitan atau rekondisi. Pada kenyataannya, kita tidak memprotes ketika ada penjual handphone rekondisi yang ditangkap pihak berwajib. Karena di berita tidak disebutkan bahwa handphone rekondisi sebagai karya anak bangsa.

Terakhir, marilah kita mencerna sebuah informasi dengan bijak. Jangan lantas dimakan mentah-mentah begitu saja. Apalagi sampai mempercayai bahwa informasi atau berita yang ditayangkan adalah sebuah kebenaran. Jika kita sudah terlanjur membaca sebuah berita, jangan abaikan berita lanjutannya (running news).

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun