Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Kumpulan anak-anak tengah asyik berlari menendang bola kesana kemari di tepi pantai di kala senja. Suatu pemandang indah yang sudah tidak asing lagi di penglihatanku.
Melihat tawa indah yang terpancar di mata mereka, dan jiwa bebas yang melekat dalam raga mereka membuatku terbawa kembali kepada kenangan masa kecilku. Kala aku dan keluarga kecilku menghabiskan waktu kami di kampung itu sebelum akhirnya hari itu tiba dan aku memutuskan untuk melalang buana ke kota.
Aku ingat, usiaku belum genap satu dasawarsa ketika aku mendengar kabar tersebut. Sekolah dasar di perkampungan kami hanya satu. Dan satu sekolah dasar itulah yang menjadi harapan seisi kampung untuk mendapat ilmu.Â
Walau hanya belajar untuk mengenal huruf dan angka, setidaknya bagi warga kampung kala itu, hal itu sudah lebih dari cukup untuk kata belajar. Sekolah tempat bapak dan ibu mengirimku menimbah ilmu hanya memiliki empat tingkatan kelas.Â
Oleh karena itu, ketika ibu mengabariku bahwa semester depan aku sudah tidak bisa bersekolah, aku bertekad untuk pergi ke kota dengan usia yang masih muda itu sendirian. Tetapi ibu dan bapak melarangku keras. Kata mereka, orang kota tak sebaik apa yang aku kira. Belum juga aku harus bekerja keras hanya untuk belajar, maupun makan.
Pikir bapak, lebih baik aku bekerja dan menghasilkan uang sendiri daripada mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin bagi warga kampung sepertiku. Kalo kata ibu, pendidikan tinggi tak lagi penting bagi kami. "Toh, sekolah tinggi juga ujung-ujungnya susah cari kerja dan balik ke kampung."Â
Aku sejujurnya kecewa kala mendengar apa yang orangtuaku pikirkan kala itu. Bagiku, itu bukanlah aku. Yang aku inginkan adalah mengenal lebih banyak tentang dunia ini dan menjelajah dunia dengan ilmuku. Dan setidaknya, memperbaiki hidup ibu dan bapak di masa tua mereka. Tapi apalah daya diriku yang belum genap satu dasawarsa. Pikiranku tak pernah sejalan dengan mereka.Â
Dan aku tidak bisa membantah selain menuruti apa kata bapak dan ibu. Lagipula bapak dan ibu memiliki lima anak untuk ditanggung biaya hidupnya. Bukan hanya aku seorang.
Setahun kemudian, aku bekerja di toko kelontong milik Koh Han. Bekerja seminggu lima hari, dan diupahi dua puluh ribu rupiah tiap minggunya. Dan setiap akhir pekan aku membantu ayah memancing ikan atau membantu pekerjaan siapapun di kampung dengan sukarela. Terkadang jika mereka bersimpati padaku, mereka akan memberikan upah sedikit.
Aku ingat, saat itu sudah dua bulan aku bekerja di toko kelontong Koh Han. Yang pada papan depannya tertulis "TOKO SERBA ADA" berukuran besar. Saat itu kami sedang sepi pengunjung.Â
Biasanya pada hari kamis dan jumat toko-toko kecil di pasar akan mengambil barang di Toko Serba Ada dan meramaikan toko kelontong Koh Han yang menjadi satu-satunya pusat perbelanjaan utama di kampung kami kala itu.