Melawan invasi plastik, upaya menyelamatkan biota laut dan ekosistem bumi.
Dalam beberapa dekade terakhir, plastik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern.
Mulai dari kemasan makanan, barang elektronik, hingga alat kesehatan, plastik digunakan hampir di segala sektor.Â
Namun, di balik kemudahan dan manfaatnya, plastik telah menimbulkan masalah besar bagi lingkungan, terutama terhadap biota laut.Â
Perdebatan mengenai siapa yang menang antara plastik dan biota kini menjadi salah satu isu krusial dalam diskusi keberlanjutan lingkungan.
Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan bahwa jumlah sampah plastik yang masuk ke ekosistem akuatik bisa meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2040 jika tidak ada upaya signifikan untuk mencegah polusi plastik.Â
Saat ini, dengan jumlah sekitar 9-14 juta ton plastik yang mencemari perairan pada tahun 2016, angka tersebut diprediksi melonjak menjadi 23-27 juta ton pada tahun 2040.
Di Indonesia, masalah sampah juga menjadi perhatian utama. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 69,9 juta ton.Â
Dari jumlah tersebut, sampah makanan mendominasi sebesar 41,60%, diikuti oleh sampah plastik sebanyak 18,71%.
Sampah plastik yang signifikan ini sebagian besar berasal dari sumber rumah tangga, yang menyumbang sekitar 44,37% dari total sampah di Indonesia.
Lebih parah lagi, sekitar 80% sampah di laut Indonesia berasal dari aktivitas di darat, dengan 30% di antaranya adalah sampah plastik.Â
Fenomena ini menunjukkan betapa besarnya kontribusi aktivitas manusia di daratan terhadap pencemaran laut, terutama plastik, yang menjadi ancaman serius bagi ekosistem laut dan keanekaragaman hayati.
Tantangan ini menuntut tindakan nyata dalam mengelola sampah, terutama sampah plastik, baik melalui pengurangan produksi, peningkatan daur ulang, maupun edukasi masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Plastik adalah bahan yang terbuat dari polimer sintetik, dirancang agar tahan lama dan tidak mudah terurai.Â
Sayangnya, sifat ini menjadi ancaman bagi lingkungan.Â
Menurut data dari National Geographic, setiap tahun sekitar 8 juta ton plastik berakhir di lautan.Â
Sampah plastik ini berdampak negatif pada berbagai ekosistem, terutama ekosistem laut, di mana biota seperti ikan, penyu, dan burung laut sering terjebak atau mengonsumsi plastik, yang akhirnya mengganggu kesehatan mereka.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik---pecahan kecil plastik yang berukuran kurang dari 5 mm---telah menyebar ke seluruh lautan dan bahkan masuk ke rantai makanan manusia.Â
Di lautan, mikroplastik diserap oleh plankton, yang merupakan dasar dari rantai makanan laut.Â
Ikan kecil yang memakan plankton terkontaminasi ini akan diteruskan kepada predator yang lebih besar, termasuk manusia.Â
Konsekuensinya, racun dari plastik tersebut ikut tertelan oleh makhluk hidup lainnya, mengancam kesehatan jangka panjang biota laut dan ekosistem yang lebih luas.
Di sisi lain, biota laut juga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global.Â
Terumbu karang, misalnya, bukan hanya menjadi rumah bagi ribuan spesies laut, tetapi juga berperan dalam melindungi pesisir dari erosi dan gelombang badai.Â
Sayangnya, sampah plastik yang mengapung di lautan sering kali merusak ekosistem terumbu karang.Â
Potongan plastik yang tersangkut pada karang dapat menghambat pertumbuhan dan menyebabkan penyakit pada karang.Â
Jika terumbu karang hancur, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh kehidupan laut, tetapi juga oleh manusia yang bergantung pada laut untuk pangan, ekonomi, dan perlindungan alam.
Apakah ini berarti biota laut kalah dalam pertarungan melawan plastik? Tidak sepenuhnya.Â
Meski dampaknya sudah sangat besar, ada upaya signifikan dari komunitas global untuk melawan polusi plastik.Â
Berbagai negara telah mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memperkenalkan kebijakan daur ulang, dan mengembangkan alternatif plastik yang ramah lingkungan, seperti bioplastik yang terbuat dari bahan organik.Â
Upaya ini dirancang untuk mengurangi produksi dan pembuangan plastik yang mencemari lautan.
Selain itu, ada juga upaya konservasi yang fokus pada pemulihan ekosistem yang rusak.Â
Program rehabilitasi terumbu karang, pembersihan pantai, dan penyelamatan spesies yang terancam punah akibat sampah plastik telah menunjukkan dampak positif, meskipun skalanya masih terbatas.Â
Teknologi baru, seperti robot penyapu plastik di laut dan filter mikroplastik, juga menjadi senjata penting dalam melawan pencemaran plastik.
Namun, pada akhirnya, yang menentukan hasil dari pertarungan ini bukanlah semata-mata plastik atau biota, melainkan tindakan manusia.Â
Tanpa perubahan signifikan dalam cara kita memproduksi, menggunakan, dan membuang plastik, biota laut akan terus menderita.Â
Oleh karena itu, pemenang dari pertempuran ini bergantung pada seberapa cepat dan efektif manusia bertindak untuk mengurangi dampak plastik terhadap lingkungan.
Dalam perspektif jangka panjang, jika langkah-langkah preventif dan mitigasi dapat diterapkan secara global, mungkin saja biota laut dapat bertahan dan pulih dari kerusakan yang telah terjadi.Â
Namun, jika penggunaan plastik tidak terkendali, lautan kita bisa menjadi kuburan bagi biota laut, dan dengan sendirinya, manusia juga akan mengalami dampak negatif dari krisis lingkungan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H