"Apakah plastik Biodegradable benar-benar solusi untuk masalah sampah global?"
Plastik yang dapat terurai secara hayati, atau biodegradable, sering kali dianggap sebagai solusi lebih baik bagi lingkungan dibandingkan plastik konvensional.Â
Ketika kita dihadapkan pada pilihan antara plastik yang dapat terurai secara hayati dan plastik biasa, plastik yang biodegradable tampaknya lebih ramah lingkungan.Â
Indonesia menghadapi masalah serius terkait pengelolaan sampah, dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, negara ini menghasilkan 69,7 juta ton sampah.Â
Ini berarti setiap orang di Indonesia menyumbang sekitar 0,7 kg sampah per hari. Sampah plastik menjadi salah satu tantangan terbesar, terutama dengan ancaman polusi terhadap ekosistem akuatik.
Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), jumlah sampah plastik yang masuk ke ekosistem akuatik dapat meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2040 jika tidak ada upaya signifikan untuk mengurangi polusi plastik.Â
Pada 2016, polusi plastik mencapai sekitar 9-14 juta ton, dan jika tidak ada perubahan, jumlah ini bisa meningkat menjadi 23-27 juta ton pada 2040.Â
Angka-angka ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk tindakan global dalam mengurangi sampah, terutama sampah plastik, agar lingkungan dan ekosistem perairan dapat dilindungi dari kerusakan lebih lanjut.
Limbah plastik memerlukan waktu yang sangat lama untuk terurai, tergantung pada jenis plastik dan kondisi lingkungan.Â
Secara umum, plastik konvensional yang terbuat dari minyak bumi dapat memerlukan waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk terurai sepenuhnya di alam.
Beberapa contoh:
Kantong plastik bisa memakan waktu sekitar 10 hingga 20 tahun untuk mulai terurai.
Botol plastik (terutama yang terbuat dari PET) dapat memerlukan waktu 450 hingga 1.000 tahun untuk terurai.
Sedotan plastik biasanya memerlukan sekitar 200 tahun untuk terurai.
Karena waktu penguraian yang sangat lama ini, limbah plastik sering kali menumpuk di lingkungan dan menyebabkan polusi yang berbahaya bagi satwa liar, ekosistem, serta kesehatan manusia.
Kenyataannya lebih kompleks ketika mempertimbangkan bagaimana plastik biodegradable ini diproduksi dan dibuang.
Plastik konvensional terbuat dari minyak bumi dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai di lingkungan.Â
Selama periode tersebut, plastik ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, seperti pencemaran laut dan darat.Â
Partikel plastik kecil yang disebut mikroplastik pun dapat memasuki rantai makanan, membahayakan ekosistem dan kesehatan manusia.Â
Plastik konvensional jelas menjadi masalah besar dalam hal keberlanjutan lingkungan.
Sebagai alternatif, plastik biodegradable dan bioplastik mulai menjadi pilihan yang menarik.Â
Salah satu contohnya adalah Kaneka PHBH, jenis poliester alami yang terbuat dari mikroorganisme yang hidup di tanah.Â
Plastik jenis ini menggunakan tanaman sebagai bahan baku, seperti jagung atau tebu, yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan minyak bumi.Â
Hal ini terdengar sebagai kemajuan besar dalam upaya mengurangi jejak ekologis dari plastik.
Namun, meskipun plastik biodegradable diproduksi dari bahan yang lebih alami, cara pembuangannya memainkan peran penting dalam menentukan dampaknya terhadap lingkungan.Â
Plastik ini tidak dimaksudkan untuk dibuang begitu saja di tempat sampah biasa atau fasilitas daur ulang.Â
Sebaliknya, mereka membutuhkan penanganan khusus di fasilitas pengomposan industri, di mana kondisi yang tepat, seperti panas dan kelembaban, dapat membantu proses degradasi.
Di sinilah masalah utama muncul. Tidak semua tempat memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pengolahan plastik biodegradable.Â
Di banyak wilayah, plastik ini mungkin berakhir di tempat pembuangan akhir sampah atau bahkan di lautan, di mana mereka tidak terurai secepat yang diharapkan.Â
Kondisi lingkungan yang kurang ideal, seperti suhu rendah atau kurangnya mikroorganisme yang diperlukan, juga dapat memperlambat proses degradasi.Â
Dalam beberapa kasus, plastik biodegradable dapat bertindak mirip dengan plastik konvensional, yaitu tetap bertahan selama bertahun-tahun tanpa terurai sepenuhnya.
Selain itu, tidak semua bioplastik diciptakan sama. Beberapa dapat terurai lebih cepat daripada yang lain, tetapi hanya dalam kondisi yang sangat spesifik.Â
Misalnya, bioplastik berbasis pati jagung atau tebu mungkin memerlukan kondisi pengomposan yang berbeda dibandingkan dengan Kaneka PHBH.Â
Hal ini menimbulkan tantangan bagi sistem pengelolaan sampah yang ada, yang belum tentu mampu menangani berbagai jenis bioplastik ini dengan benar.
Dalam konteks ini, meskipun plastik biodegradable menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan plastik konvensional, kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkannya sebagai solusi lingkungan yang sempurna.Â
Perbaikan pada infrastruktur pengelolaan sampah, edukasi masyarakat mengenai cara membuang plastik dengan benar, serta pengembangan teknologi yang lebih efisien dalam memproses plastik biodegradable menjadi kunci untuk memastikan bahwa produk ini benar-benar ramah lingkungan.
Plastik yang dapat terurai secara hayati memang memiliki potensi untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.Â
Namun, agar potensi tersebut dapat terwujud, kita perlu memikirkan lebih jauh tentang seluruh siklus hidup plastik ini, mulai dari bahan baku hingga metode pembuangannya.Â
Jika plastik biodegradable dibuang dengan cara yang salah atau tidak diproses dalam kondisi yang tepat, dampak lingkungannya mungkin tidak jauh berbeda dengan plastik konvensional.Â
Sebaliknya, jika dikelola dengan baik, plastik biodegradable dapat menjadi salah satu solusi penting dalam mengatasi masalah sampah plastik global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H