Mohon tunggu...
Jandris Slamat Tambatua
Jandris Slamat Tambatua Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana MSDM, Pemerhati Lingkungan, Competency Assessor

"Manusia Kerdil Yang Berusaha Mengapai Bintang"

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tupperware Kini Menghadapi Gulung Tikar: Digilas dengan Wadah yang Lebih Murah dan Ramah Lingkungan

19 September 2024   15:51 Diperbarui: 24 September 2024   10:31 8768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Katalog Tupperware 2024(sumber: Tupperware/Leafletku.com)

Hampir 80 tahun beroperasi, Tupperware kini menghadapi gulung tikar, digilas dengan wadah yang lebih murah dan ramah lingkungan

Tupperware, sebuah merek ikonik yang sudah akrab di telinga banyak orang di seluruh dunia, kini berada di ujung tanduk setelah hampir delapan dekade beroperasi. 

Perusahaan yang dulunya dianggap sebagai simbol inovasi rumah tangga dan gerakan sosial perempuan, terutama melalui "pesta Tupperware", kini menghadapi tantangan besar yang mengancam kelangsungan bisnisnya. 

Seiring dengan perkembangan zaman, Tupperware tampaknya semakin kesulitan mempertahankan dominasinya di pasar produk plastik penyimpanan makanan. 

Persaingan yang kian ketat, perubahan preferensi konsumen, serta model pemasaran yang ketinggalan zaman telah membuat perusahaan ini semakin terpuruk.

Dalam beberapa tahun terakhir, Tupperware mulai terlihat goyah, dengan penurunan penjualan dan utang yang semakin menumpuk. 

Persaingan dari produk wadah plastik dan bahan alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan semakin memperparah situasi. 

Meskipun pernah menjadi simbol budaya pop global, Tupperware saat ini berada di bawah ancaman gulung tikar. 

Kita akan membahas latar belakang panjang kesuksesan Tupperware, tantangan yang dihadapinya, serta faktor-faktor yang menyebabkan kemungkinan kebangkrutan perusahaan.

Sejarah Kesuksesan Tupperware

Tupperware didirikan oleh Earl Tupper pada tahun 1946, dan produk pertamanya adalah wadah plastik dengan segel kedap udara yang revolusioner. 

Penemuan ini memberikan kemudahan bagi banyak rumah tangga untuk menyimpan makanan agar lebih tahan lama. 

Pada era 1950-an, Tupperware mengalami lonjakan popularitas berkat strategi pemasaran yang unik, yakni melalui "pesta Tupperware" yang diperkenalkan oleh Brownie Wise, seorang wanita visioner yang berhasil mendobrak model penjualan langsung ke konsumen. 

Pesta Tupperware bukan hanya sekadar ajang promosi produk, tetapi juga sebuah pertemuan sosial yang menghubungkan perempuan dengan komunitas mereka sambil membahas topik rumah tangga dan keluarga.

Kesuksesan Tupperware tidak hanya terletak pada produknya yang inovatif, tetapi juga pada model bisnisnya yang memberdayakan perempuan, terutama di era pascaperang, ketika banyak perempuan mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan tanpa harus meninggalkan rumah. 

Selama beberapa dekade, Tupperware menjadi bagian penting dari budaya rumah tangga di banyak negara. 

Bahkan, merek ini menikmati posisi yang sama dengan merek ikonik lain seperti Kleenex dan Teflon, yang namanya digunakan sebagai sinonim dari kategori produk tertentu.

Namun, kemajuan zaman membawa perubahan yang signifikan dalam preferensi konsumen dan lanskap pasar. 

Tupperware, yang semula sangat diandalkan karena kualitas dan keunggulannya, mulai kehilangan pamornya seiring dengan munculnya berbagai produk alternatif yang lebih terjangkau dan lebih ramah lingkungan.

Katalog Tupperware 2024(sumber: Tupperware/Leafletku.com)
Katalog Tupperware 2024(sumber: Tupperware/Leafletku.com)

Tantangan yang Menghimpit Tupperware

Salah satu faktor utama yang mendorong Tupperware menuju kebangkrutan adalah penurunan permintaan dan penjualan produk. 

Seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu lingkungan, plastik sekali pakai dan produk yang tidak ramah lingkungan mulai ditinggalkan. 

Konsumen beralih ke produk wadah berbahan kaca, baja tahan karat, dan silikon yang dapat digunakan ulang, lebih tahan lama, dan tentunya lebih ramah lingkungan. 

Di sisi lain, produsen lain yang menggunakan bahan plastik lebih murah mulai menguasai pasar, menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif dibandingkan Tupperware.

Selain itu, Tupperware gagal mengikuti tren inovasi dan pengembangan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi konsumen masa kini. 

Ketika kompetitor lain terus berinovasi dengan produk-produk baru, Tupperware masih berpegang pada produk tradisionalnya yang mulai terlihat usang. 

Inovasi dalam desain dan fungsi yang dilakukan oleh pesaingnya, seperti wadah penyimpanan yang dapat dilipat, lebih ringan, dan lebih mudah digunakan, membuat produk Tupperware kurang diminati.

Keterbatasan model pemasaran langsung yang selama ini menjadi andalan Tupperware juga berkontribusi terhadap menurunnya performa perusahaan. 

Di era digital saat ini, konsumen lebih suka berbelanja melalui platform online dengan akses cepat ke beragam produk. 

Sementara itu, model penjualan langsung melalui pesta rumah atau pertemuan sosial seperti yang dilakukan Tupperware kini dianggap tidak lagi relevan, terutama pasca-pandemi, ketika interaksi sosial secara langsung mulai berkurang.

Penyebab Kebangkrutan

Selain masalah penurunan permintaan, Tupperware juga dibebani oleh utang yang terus meningkat. 

Seperti banyak perusahaan lain yang menghadapi masalah keuangan, Tupperware mengalami kesulitan mempertahankan arus kas yang sehat untuk mendukung operasionalnya. 

Akibatnya, perusahaan kesulitan melunasi utang-utang besar yang telah menumpuk selama beberapa tahun terakhir.

Faktor lain yang turut memperburuk kondisi perusahaan adalah ekonomi global yang tidak stabil. 

Ketidakpastian ekonomi akibat pandemi, kenaikan inflasi, serta ketidakpastian politik dan perdagangan internasional telah memengaruhi daya beli konsumen di seluruh dunia. 

Akibatnya, Tupperware kehilangan pangsa pasar yang signifikan di berbagai negara, terutama di pasar-pasar yang menjadi andalannya seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Tupperware, dengan sejarah panjangnya sebagai pelopor produk plastik rumah tangga, kini berada di ambang kebangkrutan setelah hampir 80 tahun beroperasi. 

Penurunan permintaan, persaingan dari produk alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan, serta keterbatasan model bisnisnya menjadi faktor utama di balik kemerosotan perusahaan. 

Meskipun masih ada peluang untuk bertahan dengan beradaptasi dan berinovasi, tantangan yang dihadapi Tupperware sangat besar. 

Perusahaan ini harus segera mengambil langkah strategis untuk bisa bertahan di tengah perubahan pasar dan persaingan yang semakin ketat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun