Access dan Process Barrier SDGs, menyingkap perjalanan pendidikan anak keluarga miskin di Indonesia
Pendidikan adalah salah satu hak dasar yang diakui secara universal dan merupakan kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.Â
Dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 4 yang bertujuan untuk memastikan pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas serta mempromosikan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua, tantangan pendidikan di Indonesia masih memerlukan perhatian serius.
Meski telah ada upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia, data terbaru menunjukkan bahwa masih ada sekitar 3 juta anak yang tidak mengenyam bangku sekolah.Â
Laporan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 menunjukkan angka putus sekolah yang signifikan, dengan angka putus sekolah di tingkat SD/sederajat sebesar 0,11%, SMP/sederajat 0,98%, dan SMA/sederajat 1,03%.Â
Meskipun terlihat kecil, angka ini mencerminkan jumlah anak yang signifikan yang belum mendapatkan pendidikan yang layak.
Dalam konteks SDGs, ada dua jenis hambatan utama yang mempengaruhi akses dan proses pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin: access barrier dan process barrier.
Access Barrier berhubungan dengan kesulitan awal dalam mengakses pendidikan.Â
Salah satu masalah utama adalah kekurangan gizi, yang sering menghambat anak-anak dari keluarga miskin untuk berkompetisi secara efektif di sekolah.Â
Anak-anak dengan gizi buruk cenderung mengalami kesulitan dalam belajar dan menjaga kesehatan, yang dapat menghalangi mereka dari mendapatkan pendidikan yang memadai.
Di sisi lain, Process Barrier terjadi ketika anak-anak dari keluarga miskin sudah terdaftar di sekolah namun menghadapi kesulitan dalam mengikuti aktivitas dan biaya tambahan.Â
Misalnya, biaya untuk aktivitas sosial atau ekstra kurikuler sering kali menjadi beban tambahan yang tidak dapat ditanggung oleh keluarga miskin.Â
Anak-anak tersebut juga dapat mengalami perundungan atau penolakan dari teman sebaya, yang dapat mempengaruhi motivasi dan keterlibatan mereka dalam pendidikan.
Survey Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 mengungkapkan bahwa 76% keluarga miskin mengakui bahwa alasan utama anak mereka putus sekolah adalah faktor ekonomi.Â
Dari jumlah ini, 67% mengidentifikasi ketidakmampuan membayar biaya sekolah sebagai penyebab utama, sementara 8,7% lainnya melaporkan masalah serupa.Â
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pendidikan adalah prioritas bagi banyak keluarga miskin, faktor ekonomi tetap menjadi penghalang utama dalam melanjutkan pendidikan.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, penting untuk mengevaluasi kembali strategi dan kebijakan pendidikan dalam konteks SDGs.Â
Memastikan akses yang lebih baik dan mengatasi hambatan dalam proses pendidikan memerlukan pendekatan yang menyeluruh, termasuk perbaikan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, dukungan finansial, serta intervensi untuk mengurangi stigma dan perundungan di sekolah.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang inklusif dan berkualitas, diperlukan kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas.Â
Dengan upaya kolektif, diharapkan anak-anak dari keluarga miskin dapat mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak-anak dari latar belakang yang lebih beruntung, serta membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H