Pathol tidak hanya sekadar olahraga, tetapi juga simbol kekuatan dan ketahanan yang menghubungkan masyarakat modern dengan akar budaya mereka dari masa lalu.
Pathol Sarang, olahraga tradisional yang menggabungkan unsur gulat dan sumo, adalah salah satu kearifan lokal yang telah ada sejak zaman Majapahit.Â
Berasal dari Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Pathol tidak hanya melestarikan budaya tetapi juga memperlihatkan kekuatan fisik dan teknik bela diri yang khas.
Olahraga ini mempertahankan tradisi kuno dengan cara yang unik. Peserta Pathol mengenakan kostum celana panjang longgar dan bertelanjang dada, dengan selembar kain putih yang dililitkan di perut.Â
Pertandingan dimulai dengan kedua pesaing saling menyongsong dan berusaha mengunci lawan dengan kain tersebut untuk membanting lawan hingga jatuh.Â
Aturan pertandingan cukup ketat; pukulan, tendangan, dan sikutan dilarang, sehingga fokus utama adalah teknik dan kekuatan dalam memegang kain lilitan.
Nama "Pathol" diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti "orang terkuat", menggambarkan tujuan utama dari olahraga ini.Â
Pathol memiliki akar sejarah yang dalam; olahraga ini pertama kali dikenal di Lasem pada masa Kerajaan Majapahit.Â
Pangeran Sri Sawardana, adik dari Bhree Lasem (Dewi Indu), menciptakan olahraga ini sebagai cara untuk mengidentifikasi prajurit angkatan laut yang paling kuat dan tangguh dalam melindungi pelabuhan Tuban di Jawa Timur.
Pelestarian olahraga Pathol Sarang memerlukan pendekatan yang melibatkan berbagai upaya untuk memastikan bahwa warisan budaya ini tetap hidup dan relevan.Â
Berikut beberapa langkah yang dapat diambil untuk melestarikan olahraga tradisional ini:
1. Edukasi dan Sosialisasi:Â
Mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, mengenai sejarah, teknik, dan nilai-nilai Pathol sangat penting. Ini dapat dilakukan melalui program pelatihan, seminar, dan kegiatan sosial yang memperkenalkan Pathol kepada komunitas.