Mohon tunggu...
Jandris Slamat Tambatua
Jandris Slamat Tambatua Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana MSDM, Pemerhati Lingkungan, Competency Assessor

"Manusia Kerdil Yang Berusaha Mengapai Bintang"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Merobek Angan dan Membuang Sepi"

28 Februari 2023   20:13 Diperbarui: 28 Februari 2023   20:26 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih kurasakan kabut itu menyelimuti dalam mimpi hariku. Tetesan embun dalam benak hayalan tampak malu-malu menampakkan dirinya secara utuh. Terlintas hamparan kehijauan rindang berpetak luas.

Tak luput pula mentari lambat laun muncul dari peraduan tidur panjangnya.  Burung-burung saling berpekikan. Ciptakan nada-nada dengan irama nan merdu. Suatu nada yang cukup untuk menentramkan hati dan pikiran.

Lantas nada yang akhirnya mengalunkan suara hati, semburat bias senja itu tertutupi oleh gundukan tanah sepetak. Cahayanya berhamburan tak hanya membasahi air mataku.

Mewarnai angin yang menggoyangkan dedaunan. Ibarat serumpun padi ditengah sawah. Hidup subur bersama rumpunan padi menguning. Setangkai padi saja tak akan berguna. Serumpunlah yang dibutuhkannya

Sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok.

Apakah arti hidupmu?

Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Seindah-indahnya bunga tetap ada masanya. Akan mekar terlihat sangat indah, dalam waktu singkat layu lalu berakhir masanya.

Mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Nikmati proses mekarnya disetiap waktu. Akan ada waktunya kebaikan yang lebih berhak tumbuh di dalam diri kita.

Amati setiap proses tumbuh dan kembangnya. waktu demi waktu. Jangan biarkan ulat-ulat sifat buruk menggerogoti dan menghentikan setiap gerakan mekarnya. Siramlah selalu dengan air.

Ketika merasa terhina dan bersedih hati. Hanya karena ucapan kata-kata buruk yang seolah tertuju kepada kita. Berbalik menghinakan dengan kata-kata yang tak kalah buruk lagi keji.

Tidaklah sebatang pohon akan terbebas dari terpaan angin yang kencang.

Tidaklah setiap helai rumput yang rendah akan jauh dari injakan kaki demi kaki.

Tidaklah suatu kehidupan terbebas dari maut dan akan layu sebelum berkembang.

Terik mentari menyengat terasa kemarau tiba. Air langit tak menyapa lagi, entah ke mana ia berada. Mungkin sudah bosan mendengar penduduk bumi mengeluh ketika ia datang.

Memang sudah takdirnya ia tak menyapanya lagi. Menyentuh daun akasia yang tertiup angin rindu dan embun-embun pada kelopak daunnya. Sesekali aku menatap langit.

Memastikan akan rasa raguku dan rupanya langit masih bersih. Meski rasa gundah mulai membalut hatiku.

Kemanakah perginya air bening itu?

"Tak lagi tampak memeluk dan membasahi bumi."

Mungkinkah dia kan kembali?

Menebarkan aroma pada alam raya....

Menyeruakkan ribuan angan ke angkasa raya?

Aku rindu....

Ku tunggu disela-sela sinar mentari, datangnya cahaya kian menari. Hanya embun yang menemani, dalam keheningan kusendiri. Membaringkan lesu hati, menghujam rasa sepi. Namun membangkitkan rasa ini, ingin ku teriak sekencang mungkin.

Adakah yang mendengar di alam semesta ini?

Hanya bisikan yang bisa merobek cakrawala dan meruntuhkan butiran embun.

Rasa ini kugenggam cahaya bersinar kembali, disaat menunggu keesokan hari. Semangat ku mulai pudar tampak menyambut fajar dalam merobek angan dan membuang sepi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun