[caption id="attachment_247303" align="alignleft" width="300" caption="Restricted area, ini gerbang aspirasi"][/caption] Menarik menyimak kontroversi rencana pembangunan gedung baru DPR yang konon hal tersebut merupakan ide Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR. Alih-alih menepis isu minimnya kompetensi dan profesionalisme DPR, wacana pembubaran BURT terlontar dari PKS. Wacana ini seolah menjadi penegasan bahwa bukanlah DPR yang menghendaki pembangunan gedung baru, melainkan BURT. Dengan demikian tidak cukup alasan untuk membubarkan DPR sebagaimana diusung beberapa pihak. Tindakan yang lebih tepat adalah membubarkan BURT.
Sudah cukup banyak alasan mengapa rakyat berhak marah melihat polah tingkah anggota dewan. Di tengah keprihatinan rakyat atas tidak adanya penyelesaian konkrit sengketa Indonesia-Malaysia, anggota dewan justeru sibuk dengan dirinya sendiri. Sikap "plinthat-plinthut" partai Golkar terlihat jelas dalam wacana interpelasi yang seperti "roller coaster" memunculkan dan menenggelamkan isu sesuai dengan kepentingan kelompok politiknya sendiri. PDIP yang konon memposisikan dirinya sebagai partai oposisi terbungkam kesibukan mempertahankan kader-kadernya yang terindikasi terlibat penyuapan pada pemilihan deputi gubernur BI. Amat disayangkan momentum baik bagi PDIP untuk membenahi diri justeru disia-siakan dan tanpa sadar membuka kedok-kedok yang tersembunyi selama ini. Di tengah berbagai persoalan tersebut, masih saja pembangunan gedung serta recruitmen 5 staf ahli untuk masing-masing anggota dewan dilakukan dengan mencoba mengelabui rakyat. Tidak berhak kah rakyat marah melihat semua perilaku menyimpang tersebut? Dikatakan perilaku menyimpang karena perilaku-perilaku tersebut menunjukkan kompetensi dan profesionalisme anggota dewan yang tidak cukup memadai untuk disebut sebagai wakil rakyat.
Saat ini sangat sulit bagi rakyat untuk mengetahui pengertian kompetensi dan profesionalisme di benak para anggota dewan. Satu hal yang diyakini rakyat ketika memilih wakilnya adalah bahwa orang-orang terpilih tersebut akan mewakili suara rakyat serta memperjuangkan kehidupan warga bangsa untuk menjadi lebih baik, entah bagaimanapun caranya. Dengan demikian maka ukuran kompetensi dan profesionalisme anggota dewan dilihat lewat kondisi seberapa lebar kesenjangan antara harapan rakyat tersebut dengan kenyataan yang diterima. Ketika kesenjangan tersebut terlalu lebar dengan diindikasikan tingkat kekecewaan rakyat meninggi, maka dapat dikatakan anggota dewan tidak perform.
Sudahkah ukuran ini diterapkan di Negara kita? Jawabannya tentu sudah, yaitu dengan mekanisme partai. Yang menjadi persoalan adalah ketika partai mengingkari sifat dasarnya sebagai sebuah hasil konsensus sistem demokrasi yang dipilih, yaitu mewakili entitas warga bangsa. Pengingkaran ini menyebabkan anggota dewan lebih tunduk kepada partai daripada kepada pemberi amanat, yaitu rakyat. Pada titik ini, kembali kompetensi dan profesionalisme anggota dewan dipertanyakan. Sehingga menjadi suatu rangkaian ketika partai tidak profesional maka menghasilkan kader-kader yang juga tidak professional. Jika demikian, apakah sistem demokrasi yang ada sekarang masih layak dipertahankan dan menjadi barang mati yang tidak mungkin dirubah lagi?
Perlu ditegaskan kembali bahwa sistem demokrasi Pancasila masih relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kedaulatan tertinggi tetap di tangan rakyat. Sebuah mekanisme baru seharusnya ditambahkan dengan adanya kewenangan rakyat untuk mencabut mandatnya pada anggota dewan. Rakyat berhak memaksa partai untuk me-recall orangnya yang duduk di dewan yang dinilai tidak perform. Jika partai tetap berusaha melindungi kadernya, maka rakyat berhak menggugat agar partai tersebut dibubarkan atau dikenai sanksi. Sudah tidak jamannya lagi mengenakan sanksi dengan tidak memilih kader dari suatu partai tertentu. Sanski harus dibuat konkrit dan jelas sebagaimana pelarangan terhadap partai komunis.
Hal tersebut perlu ditegaskan dan dipikirkan berbagai pihak, terutama ahli hukum dan tata Negara agar candaan anggota dewan seperti membangun gedung dengan kolam renang kemudian melemparkan kesalahan pada pihak lain seharusnya tidak perlu terjadi. Menyikapi pembangunan gedung baru DPR, rakyat berharap anggota dewan seharusnya menjawab bahwa fasilitas itu terlalu berlebihan dan semestinya dana pembangunan dialokasikan ke tempat lain seperti penanganan musibah gunung sinabung. Bukan kata-kata "mau tidak mau, suka tidak suka pembangunan tetap dilaksanakan". Kalau tetap seperti itu, sungguh, canda itu terlalu berlebihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H