Mohon tunggu...
Jan Roi
Jan Roi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pedagang yang suka menulis

Mantan salesman mobil yang suka merenung, jualan gak banyak. Resign dan lanjut merenung, lalu dituliskan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Peluang Prabowo Lebih Besar, Kenapa?

4 Februari 2024   11:29 Diperbarui: 4 Februari 2024   11:42 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kenapa peluang Prabowo Subianto menang Pilpres lebih besar?

Hari ini, saya dapat pelajaran baru, sebuah tulisan yang membahas penemuan Amos Taversky dan Daniel Kahneman, pada tahun 1972, tentang Bias Kognitif.

Menarik, lalu saya kaitkan kenapa Prabowo Subianto punya elektabilitas tinggi dan berpeluang menang 1 putaran pada Pemilu nanti, lalu kaitannya dengan kualitas pendidikan di negeri ini.

Seperti Rocky Gerung pernah bilang, bahwa Presiden Joko Widodo sibuk bangun tol yang panjang, tapi lupa bangun pendidikan bangsa, ada benarnya.

Hasil rilis terbaru, bahwa hanya 10% penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi. Sisanya? SMA sederajat ke bawah. Lazimnya, pola pikir rasional juga dipengaruhi tingkat pendidikan seseorang. Dan sering sekali, manusia megambil sebuah keputusan, tanpa pikiran rasional. Hanya berdasarkan faktor emosional saja. Inilah yang disebut bias kognitif.

Bias kognitif bukanlah perilaku buruk, bahkan didunia kerja, hal ini sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan mental seseorang.

Jadi, sudah benar pilihan konsultan politik Prabowo Subianto, bagaiman cara menggiring masyarakat, untuk lebih care padanya, lebih tahu namanya, ketimbang lebih tahu latar belakang dan sejarah, track record seseorang.

Kalian boleh mengejek program "makan gratis dan susu gratis" Prabowo-Gibran, tapi secara bias kognitif, hal itu cukup melekat dalam benak masyarakat kita, ketimbang visi-misi capres lain yang dijabarkan panjang dan lebar itu.

Kalian boleh hina joget Gemoy ala Prabowo-Gibran, dan mengangungkan pola kampanye Desak dan Tbrak Sat-Set itu. Tapi, yang melekat dalam benak mayoritas masyarakat, ya Joget Gemoy.

Itulah kenapa faktor pendidikan itu penting, survey itu penting, dan memahami pola perilaku masyarakat juga penting.

Yang ikut program desak dan tabrak itu, boleh jadi hanya merangkul 10% masyarakat dengan tingkat pendidikan seperti yang dituliskan diawal tulisan ini, sisanya? Joget gemoy.

"Berarti, yang 80-90% lagi, gak berpendidikan, gitu?"

Bukan begitu kesimpulannya. Para pendukung Prabowo juga banyak yang mengenyam pendidikan tinggi, banyak sekali malah. Tapi satu hal yang harus kita sadari, bahwa Bias Kognitif itu terjadi pada siapa saja, tanpa memandang gelar dan kedudukannya. Itu alamiah.

Yang menjadi poin opini saya ini adalah, untuk menjawab pertanyaan buzzer Capres lain, kenapa ada yang dukung Prabowo - Gibran, sementara buzzer itu menganggap visi-misi capresnya lebih keeen dan beken ketimbang hanya "makan dan susu gratis".

Bias Kognitif jawabannya, dan konsultan politik Prabowo - Gibran lebih jeli melihat peluang itu, daripada konsultan Politik Anies dan Ganjar.

1 putaran itu, semakin mungkin menjadi kenyataan. Debat KPU? Itu sebatas pemuas hasrat pemilih yang berpikir aja, mayoritas masyarakat kita tidak perduli dengan Debat.

Tabik..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun