Mohon tunggu...
Jan Roi
Jan Roi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pedagang yang suka menulis

Mantan salesman mobil yang suka merenung, jualan gak banyak. Resign dan lanjut merenung, lalu dituliskan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemerintah Sibuk Urus Politik, Saat Petani Semakin Tercekik!

29 Mei 2023   21:28 Diperbarui: 29 Mei 2023   21:29 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Cabai - detiksumut.com

Berapa modal yang dibutuhkan seorang petani untuk tanaman cabainya, hingga panen? Sebenarnya hitungannya beragam, namun, mayoritas para petani cabai merah akan sepakat diangka Rp. 10.000 per batang.

Taruhlah seorang petani menanam 1000 batang cabai merah, maka ia akan menghabiskan modal sekitar Rp. 10 juta hingga tanaman cabai merah itu membuahkan hasil (panen). Angka yang besar, bukan?

Kenapa demikian? Harga pupuk dan obat-obatan yang setiap saat melambung tinggilah yang menjadi penyebabnya. Meski beberapa hari belakangan ada penurunan harga pada pupuk dan obat-obatan kimia sintesis yang dibutuhkan para petani, tapi tidak terlalu signifikan. Harga pupuk per sak (berat 50 kg) masih diatas 850 ribu-an.

Lalu, mari coba perhatikan, berapa harga cabai merah dipasar saat ini. Di pusat pasar Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara, harga cabai merah dibeli dari para petani diangka Rp. 10.000 saja, harga yang sejatinya jauh dari harapan para petani. Jangankan untung, harga demikian, balik modal pun susah. Dan, harga cabai merah tersebut sudah mengalami kenaikan, jika dibandingkan dengan harga beberapa minggu lalu, yang sempat menyentuh angka 5.000 rupiah saja.

Sebagai seorang pedagang yang trauma menjadi petani, saya bisa mengkalkulasikan penghasilan para petani cabai merah dengan luas 1.000 batang tersebut. Buah terbanyak yang bisa dihasilkan pada puncak panen adalah sebanyak 100 kg, dengan durasi 4 kali panen, dan berat beragam antara 10 - 50 Kg dibeberapa kesempata panen nya. Biasanya, cabai merah mampu dipanen hingga 12 kali, yang dipanen setiap minggunya (sekitar 3 bulan), dan jika diakumulasikan, dari 1000 batang cabai merah bisa meperoleh 1,t ton hingga selesai. 1.500 Kg x 10.000, maka penghasilan yabg diperoleh seorang petani adalah 15.000.000, dikurang modal 10.000.000, maka pendapatan bersih para petani hanya diangka 5 juta saja dalam rentang waktu 4 bulan. Worth it? Tentu saha tidak.

Lalu, berapa harga cabai merah sesuai standar, agar para petani bisa untung? Diangka 18.000 - 20.000, tidak boleh kurang. Bukan hanya cabai, komoditi pertanian lainnya saat ini juga mengalami penurunan, seperti tomat dan kubis. Meski, harga Wartel masih lumayan.

Siapa yang bisa menerapkan intervensi atas harga tersebut? Pemerintah.

Lalu, kemana Pemerintah? Sibuk safari politik menuju tahun politik pada 2024 nanti. Sementara para petani semakin tercekik, para politisi dipemerintahan sedang sibuk mencitrakan diri sebagai pilihan terbaik.

Pemerintah, secafa kharafiah sejatinya adalah organisasi yang bertugas mencipatakan kesejahteraan pada rakyat, dengan menerapkan peraturan perundang-undangan. Disaat inflasi, Pemerintag hadir melakukan intervensi harga. Disaat krisis ekonomi, pemerintah juga yang harus hadir untuk menstabilkan ekonomi. Itulah sejatinya fungsi dari keberadaan Pemerintah, yakni menciptakan keseimbangan didalam kehidupan warga negaranya.

Namun, yang terjadi saat ini, tidaklah demikian. Disaat para petani,profesi paling besar dinegeri ini hingga mendapat julukan negara agraris, sedang tercekik, para pemerintah malah lebih fokus pada urusan politik demi menyongsong Pemilu 2024 nanti.

Tidak ada upaya dari Mendag, bagaimana agar harga pupuk subsidi tidak langka dipasaran, harga pupuk tidak melambung tinggi yang membebani modal para petani, dan memastikan standarisasi harga hasil komoditi pertanian.

Dunia agribisnis kita seolah auto pilot, jalan sendiri tanpa ada pengaruh berarti dari keberadaan pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan. Harga komoditi seenaknya dimainkan oleh para mafia dagang, tanpa sekalipun ada intervensi dari Pemerintah untuk menstabilkan harga. Tinggi disaat barang langka, dan murah semurah-murahnya disaat barang membanjiri pasaran.

Yang rugi siapa? Lagi-lagi para petani gang tercekik, karena keegoisan para politisi yang bergabung dipemerintahan.

Belum lagi, pemerintah yang layaknya macan ompong dalam menghadapi para mafia pupuk subsidi. Namanya pupuk subsidi, namun keberadaannya acap kali Ghoib tak kasat mata. Bahkan, Pemerintah seolah tak berupaya sedikitpun mengintervensi harga pupuk non-subsidi yang sangat melambung tinggi. Para petani seolah disuruh beripaya sendiri mencari solusi atas persoalan yang mereka hadapi.

Sampai kapan para petani dibiarkan tercekik, sementara pemerintah lebih sibuk "cawe-cawe" urusan politik 2024 nanti?

Ditengah upaya pemerintah menarik minat kaum milenial dan gen Z agar mau menjadi petani, bukankah "hampanya" peran pemerintah dalam menangani anjloknya harga komoditi hasil pertanian, naik nya harga pupuk dan obat-obatan, serta langkanya pupuk subsidi, menjadi sebuah isu menarik untuk menolak menjadi seorang petani? Belum lagi lahan pertanian yang semakin hari kian berkurang jumlahnya.

Pemerintah terkesan kurang serius membangun ekosistem pertanian kita, apalagi sampai mengembangkannya. Jika pembiaran ini terus dibiarkan, mungkin sebutan sebagai negara Agraris akan lepas dari Indonesia.

Siapa yang mau jadi petani, jika petani kian tercekik, sementara pemerintah lebih fokus pada pesta politik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun