Mohon tunggu...
Susilo B. Utomo
Susilo B. Utomo Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Lepas

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pada Dasarnya Manusia Itu Egois

16 Juli 2021   16:20 Diperbarui: 16 Juli 2021   17:01 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resensi Cerpen Tot Ziens, Rembang!

Pada dasarnya manusia itu egois.

Dia hanya akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu jika dan hanya jika menguntungkan dirinya sendiri, tanpa mempedulikan orang lain akan mengalami kerugian, kesengsaraan atau keburukan lainnya. Dalam teori psikologi disebutkan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan yang berkutat pada dirinya sendiri (selfish).

Demikian juga yang terjadi pada Raden Djojodirjo, seorang Regent Rembang. Dia, entah terpaksa karena harus membalas budi karena telah diberi kedudukan sebagai Regent di Rembang dari VOC, atau memang sebenarnya dia juga serakah, maka dia dan VOC berkomplot menandatangani perjanjian kerjasama untuk melakukan pembalakan liar dengan menebang java teak alias kayu jati dengan membabi buta.

Mereka tidak mempedulikan apa akibat yang akan timbul jika hutan dibabat tanpa mempedulikan kelesatariannya. Mereka menggunduli hutan jati tanpa pernah menananmnya kembali. Dan mereka hanya peduli pada keuntungan pribadi maupun VOC.

Toet Zins, Rembang! Sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Lita Lestianti ini sekaligus menjadi judul buku antologi cerpen para pemenang lomba cerita pendek bertema lingkungan dalam rangka Milad ke-23 Forum Lingkar Pena.

Cerpen ini sangat menarik, karena disamping mengambil seting jaman penjajahan Belanda dimana VOC menguasai hampir di semua sektor perdagangan di Indonesia termasuk hasil hutan dan kayu jati di Rembang, juga karena sarat konflik. Konflik tentang harta  dan tahta.

Raden Djojodirjo yang ingin memperoleh tahta atau kedudukan sebagai Regent Rembang dari penjajah Belanda, maka harus mengorbankan hutan jati di wilayah kekuasannya untuk diambil VOC. Cornelis De Wijk, seorang wakil bookhouder-generaal VOC harus melepaskan jabatannya karena tidak tahan melihat para pejabat di lingkungan VOC yang korup dan penuh intrik. Para blandong, penebang kayu, harus hidup dalam kemiskinan karena tidak menerima upah yang semestinya.

Meskipun rakyat, khususnya para Blandong hidup sengsara, tidak ada yang berani menentang keserakahan Regent Rembang dan VOC sebagai penguasa. Namun perlawanan justru datang dari oang dekatnya, yaitu Jayanti, putri semata wayangnya. "Ayahanda hanya melihat dari mata ayahanda sendiri. Tolong sampaikan pada Meester Cornelis, keluarga blandong tidak makmur. Mereka miskin!..." (hal 8).

Bahkan kepada Tuan Cornelis sebagai perwakilan VOC, Jayanati dengan berani menyuarakan perlawanannya. "Tuan Cornelis, Tuan Godewyn dan seluruh petinggi VOC tak pernah memikirkan bagaimana anak cucu kami hidup di hutan beberapa tahun lagi. Dari mana mereka akan hidup jika hutan tidak lagi menghasilkan apa-apa karena kayu jati telah kalian habiskan, tanpa pikir untuk menanam ulang segera." (hal 5).

Dengan membaca cerpen ini maka pembaca akan dibawa menelusuri masa lalu untuk turut merasakan kesengsaraaan kehidupan masyarakat di jaman penjajahan. Kehidupan di jaman feodal, dimana masyarakat harus hormat dan tunduk kepada penguasa.

Namun sayang, cerpen ini masih ada sedikit ketidaksesuaian seting ketika Jayanti marah dan berbicara dengan sangat kasar kepada ayahnya. "Jayanti mengeluarkan semua kebencaiannya dengan suara keras dan penuh amarah. Iapun menatap ayahnya dengan tatapan menusuk." (hal 12). Seorang anak di jaman itu tidak ada yang akan berani berbicara dengan mengeluarkan suara yang sangat keras kepada ayahnya, bahkan hanya sekedar menatap mata ayahnyapun tidak akan ada yang berani. Terlebih ayah Jayanti adalah seorang penguasa, seorang pejabat Regent. Apalagi sampai berani menyebut ayahnya dengan sebutan "kau" seperti dalam kutipan berikut ini, "Ayahanda, apa kau masih mau melanjutkan perjanjianmu dengan para kompeni?! (hal 12).  

Secara keseluruhan cerpen ini sangat menarik dan layak disimak karena memberikan contoh kongkrit  kepada para pembaca bahwa pada dasarnya manusia itu egois. Dia hanya akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu jika dan hanya jika menguntungkan dirinya sendiri. Dan yang lebih penting lagi, cerpen ini mengajarkan kepada kita bahwa tindakan pembabatan hutan atau merusak alam lainnya akan selalu mendatangkan bencana bagi manusia bukan hanya kepada para pelakunya saja.

[Bandung, 16 Juli 2021]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun