Dengan membaca cerpen ini maka pembaca akan dibawa menelusuri masa lalu untuk turut merasakan kesengsaraaan kehidupan masyarakat di jaman penjajahan. Kehidupan di jaman feodal, dimana masyarakat harus hormat dan tunduk kepada penguasa.
Namun sayang, cerpen ini masih ada sedikit ketidaksesuaian seting ketika Jayanti marah dan berbicara dengan sangat kasar kepada ayahnya. "Jayanti mengeluarkan semua kebencaiannya dengan suara keras dan penuh amarah. Iapun menatap ayahnya dengan tatapan menusuk." (hal 12). Seorang anak di jaman itu tidak ada yang akan berani berbicara dengan mengeluarkan suara yang sangat keras kepada ayahnya, bahkan hanya sekedar menatap mata ayahnyapun tidak akan ada yang berani. Terlebih ayah Jayanti adalah seorang penguasa, seorang pejabat Regent. Apalagi sampai berani menyebut ayahnya dengan sebutan "kau" seperti dalam kutipan berikut ini, "Ayahanda, apa kau masih mau melanjutkan perjanjianmu dengan para kompeni?! (hal 12). Â
Secara keseluruhan cerpen ini sangat menarik dan layak disimak karena memberikan contoh kongkrit  kepada para pembaca bahwa pada dasarnya manusia itu egois. Dia hanya akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu jika dan hanya jika menguntungkan dirinya sendiri. Dan yang lebih penting lagi, cerpen ini mengajarkan kepada kita bahwa tindakan pembabatan hutan atau merusak alam lainnya akan selalu mendatangkan bencana bagi manusia bukan hanya kepada para pelakunya saja.
[Bandung, 16 Juli 2021]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H