Mohon tunggu...
Susilo B. Utomo
Susilo B. Utomo Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Lepas

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Nawar

15 Juni 2020   06:24 Diperbarui: 15 Juni 2020   06:31 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau belanja di tukang sayur, jangan nawar.

Sikap di atas tidak hanya berlaku kalau belanja di tukang sayur, tetapi juga belanja kepada pedagang kecil lainnya termasuk di kaki lima. Enggak usah nawar afgan alias sadis. Tanya harganya, bayar dan ambil barangnya. Selesai.

Kalaupun beda atau lebih mahal seribu dua ribu, biarin saja. Uang segitu tidak akan membuat kita jatuh miskin. Tetapi uang segitu bisa menjadi pemompa semangat saudara-saudara kita yang jualan di sektor informal ini. Seribu dua ribu toh tidak akan membuat mereka kaya raya. Tetapi seribu dua ribu kelebihan pembelian kita dapat menyambung hidup mereka.

Kalau kita belanja di mini market apalagi super market, adakah yang pernah nawar? Bisakah mereka ditawar? Kadang perbedaan harganya bisa lebih besar dari harga pedagang kecil, tetapi kita dengan entengnya tetap membeli barang tersebut tanpa menawar. Itu baru beda harga untuk satu item barang. Kalau belanja kita ada lima item, sepuluh item atau bahkan duapuluh item, berapa coba selisih lebih mahalnya dari pedagang kecil? Dan kita tetap enteng membayarnya tanpa nawar.

Kenapa enggak nawar?

Ya, karena mini market dan super market menerapkan aturan harga pasti, tidak boleh menawar.

Kalau di mini market yang notabene milik para kapitalis bermodal besar dengan jaringan usaha bercabang-cabang saja kita ikhlas tidak menawar, mengapa dengan pedagang kecil kita masih menawar?

Memang menawar akan dapat memuaskan hati kita sebagai pembeli karena mendapatkan barang bagus dengan harga pantas. Tapi kalau nawarnya sadis? Itu namanya perampokan alias dzolim!

Begitu tulisan ini selesai langsung saya serahkan ke istri saya yang baru masuk rumah setelah belanja di tukang sayur keliling agar bisa belajar untuk tidak menawar kepada tukang sayur langganan.

Tidak boleh nawar?

Bagaimana kita tidak boleh nawar, kalau tukang sayur ngasih harganya kelewatan. Tidak kira-kira, katanya.

Masak daging sekilo dijual 150 ribu? Di pasar aja cuma 120 ribuan. Udang setengah kilo di pasar 50 ribuan, dijual 75 ribu. Bagaimana kita enggak boleh nawar? Ini namanya dominasi minoritas. Ini perampokan. Ini teror lebih sadis dari Covid-19. Bla... bla... bla...

Anda pernah ketemu dengan tukang sayur atau pedagang kecil lain yang seperti ini juga? Lalu apakah anda tetap nawar atau langsung bayar?

[Bandung, 15 Juni 2020]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun