"Sekarang aku ada di hadapanmu, itu pertanda kesetiaan."
"Semoga saja kesetiaan itu abadi."
"Ya, pasti, abadi."
Rafiah tertunduk sedih. Sesekali mengangkat wajah dan menatap ke arah depan, tapi bukan ke wajah pemuda yang ada di depannya itu. Hanya memandang dengan tatapan kosong  menerawang waktu. Batinnya bergelora seperti lautan yang diarungi beberapa tahun silam saat mengikuti ayah dan ibunya berlayar jauh. Jauh sekali. Ketika itu pelayaran dari Donggala diiringi gelora sepanjang Selat Makassar menuju Laut Sulawesi hingga tandang di Mindanau.
Sungguh pelayaran tak terlupakan. Gelora lautan terus terekam dalam sukma si jelita. Seakan masih ada ombak  menerpa hingga keduanya dipertemukan di rindang pohon sukun yang berisik dihembus angin.
"Kau masih ingat apa yang pernah aku ucapkan di Mindanau ketika itu?" tiba-tiba Syariful membuyarkan lamunan Rafiah.
Rafiah berbalik arah. Menatap sang pemuda di hadapannya. "Apa yang engkau pikirkan?" kembali Syariful mengusik lamunan sang putri.
"Ucapan apa yang engkau maksud itu?" tanya sekadarnya.
"Ohh. Engkau lupa ya, apa yang dulu kita ikrarkan bersama?"
"Tidak juga... Sebetulnya... masih aku ingat. Cuma yang kupikirkan seperti mimpi saja," katanya berseoroh.
"Kenapa dikatakan mimpi?"