Jampit L.S. Pamungkas
23/01/2017
Beberapa minggu yang lalu ada pesan BBM yang masuk dari adek tingkat kuliah dan organisasi, “Malam minggu ada waktu luang ga mas?”.
“Mau maen kerumah? Maen aja” jawabku.
Ba’da Isya’ para adek tingkat meluncur ke gubuk saya sekitaran 20an pasang biji (baik biji besar [cewek] maupun kecil [cowok]).
Saya dan istri tak punya persiapan khusus untuk menerima kedatangan para biji -ehhh.. adek2 tingkat- tersebut. Hanya mengandalkan pada jajanan murahan yang ada HIK (Hidangan Istimewa Kampung) atau akrab dikenal dengan warung akringan, yang ada di depan rumah, karena gubuk kami (lebih tepatnya rumah orang tua kami) tidak bisa menampung biji sebanyak itu.
Dengan bermodal dua tikar yang pinjam di pos ronda RT saya, kita duduk melingkar rapat dan berhimpitan. Posisi duduk seperti ini memang agak rawan, karena dari ‘biji-biji’ itu beberapa teridentifikasi ‘fakir asmara’ alias jomblo. Apalagi malam itu itu adalah malam minggu, malam yang panjang untuk melepas lajang. #$%@^%*
Sembari nyemil gorengan dan nyruput wedang, mereka mulai membuka obrolan.
“Ini mas, kita datang kesini dengan maksut silaturahmi -(stop.. biasanya di zaman saya dulu kalimat klise ini –Silaturahmi- digunakan untuk kamuflase untuk minta makan sama rokok ke senior. Semoga kalian tidak meniru gaya jadul itu)- dan mengenalkan alumni kepada anggota baru, yang datang ini kebanyakan anak semester satu mas” sambil menunjukkan beberapa biji baru.
Saya pun mengikuti gerakan tangan ketua rombongan tersebut dalam mengenalkan satu persatu personilnya dan berhenti pada mahasiswi cewek yang ngakunya tinggal di Solo. Tatapan saya agak lama melihat wanita berkcamata itu, tapi dengan cepat (secepat gerak cahaya melebihi suara) saya istighfar karena pundak ditepuk sama isteri,
“Ayah, anaknya rewel” bisik isteri, “Permaisuriku, bersegeralah untuk menemui buah hati kita, susui dia, aku ikhlas permaisuriku. Untuk sementara waktu tidak berebut susu dengan buah hati kita” sahut saya.
Kembali pada obrolan-obrolan khas mahasiswa aktivis.
“Mas, kita kemaren dapat ajakan untuk turut bergabung dengan aksi 121 oleh organ mahasiswa se-Solo raya tapi kami tidak berangkat, karena aksi tersebut terkesan serampangan dan erat dengan singgungan politik” ujar salah satu ‘biji’ dengan raut serius bak onanor ulung, orator maksud saya (orator, orang yang berorasi, lha kalo onanor? Orang yang ber...??).
Di sudut yang lain ada yang langsung menindih pembicaraan “Menurut kamu mas, bagaimana kondisi gerakan mahasiswa pada hari ini mas? Dibanding dengan senior-senior dulu, macam gerakan ’98 atau ’66. Kayaknya mahasiswa hari baru masuk angin mas”.
Sembari nyumet udud, sejenak saya memaksimal kerja neuron-neuron otak saya untuk mengingat, meringkas dan meringkus kalimat sebagai jawaban dari pertanyaan para ‘biji’ itu. Tetiba, mak bedunduk kotak dan hati saya kompak untuk menyebut mahasiswa sebagai agen social of change adalah mitos belaka. Raut para biji terliat ruam dan berkerut dahi, seakan mereka akan memakan saya hidup-hidup. Bagaimana tidak, saya sering kali dianggap provokator dan membidani dalam aksi-aksi mereka, menemai ‘diskusi langitan dengan fasilitas malaikatan’ (diskusi dengan wacana melangit tanpa ada makan dan minum, seperti malaikat yang tidak memiliki nafsu), berbalik 180 derajat dan menabrak idealisme yang mereka yakini.
Ngko sek dab... sabar, jangan keburu memakan saya, saya belum matang dan belum dibumbui merica dan bawang putih.
Saya mencoba balik menanyakan kepada para ‘biji’ tentang komparasi yang dipakai sehingga muncul penyimpulan bahwa gerakan mahasiswa ‘dulu’ lebih masif dibanding hari ini.
“Ya dulu kan mahasiswa terlihat heroik, tahun ‘66 bisa menggulingkan Soekarno, tahun ’98 melengserkan sang otoriter, Soeharto.” Jawab seorang ‘biji’ dengan nada oktav 7.
Sayapun manggut-manggut sambil tetap istiqomah nyedot promild. Romansa heroisme gerakan mahasiswa ‘dulu’ masih melekat betul pada mereka, para ‘biji’. Penggulingan dua rezim tersebut menjadi paramater dan eksistensi gerakan mahasiswa paling kentara.
Oke, sejenak kita pinjam mesin waktu Doraemon untuk menapak sejarah gerakan mahasiswa.
Jauh sebelum gerakan mahasiswa ’66 ataupun ’98, kiprah mahasiswa (pemuda) dalam sejarah kebangsaan memiliki artikulasi tersendiri. Sebut saja gerakan mahasiswa 1908 yang dimotori oleh Boedi Oetomo atau gerakan mahasiswa 1928 yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda. Yang mana dua organisasi ini lahir di masa penjajahan Belanda dan berhasil menumbuhkan nasionalisme anti kolonial.
Kemudian, pasca kemerdekaan – masa Orde Lama -, gerakan mahasiswa paling fenomenal terjadi pada tahun 1966 yang dikenal dengan angkatan 66. Gerakan ini dianggap mampu mengartikulasikan secara tepat kegelisahan dan tuntutan rakyat, dan berhasil menumbangkan kekuasaan Sang Pemimpin Besar Revolusi.
Masuk pada masa Orde Baru nya Mbah Harto. Tahun 1966 -1971 disebut-sebut sebagai masa “bulan madu” dimana banyak tokoh mahasiswa 1966 terlibat di dunia birokrasi dengan menduduki jabatan-jabatan strategis (Nah disini, amatan saya mengenai aksi ’66 merupakan bagian dari gerakan politik mahasiswa).
Setidaknya masa kekuasaan Orba tardapat tiga kali gerakan mahasiswa yang berhulu ledak cukup besar. Pertama , peritiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Diamana mahasiswa memrotes kunjungan PM Jepang, Tanaka, dengan aksi blokir besar-besaran yang mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Walapun kasak kusuknya aksi tersebut juga didalangi oleh elite, karena Indoensia adalah pasar dari Amerika. Wallahu’alam
Kedua, setelah empat tahun dari peristiwa Malari, gerakan mahasiswa muncul kembali pada tahun 1978. Serangkaian aksi berjalan di kota-kota besar. Jakarta, Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Aksi tersebut adalah aksi penolakan pencalonan Soeharto menjadi presiden untuk kesekian kalinya. Aksi mahasiswa yang semakin menjadi-jadi ini direspon oleh Soeharto dengan mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK).
Kebayangkan jika ente hidup pada masa itu dan masih ikut-ikutan aksi, maka ente masuk kamar mahasiswa yang ga normal. hehe. Normal dalam perspektif NKK/BKK adalah mahasiswa dinormalisasikan atau dikembalikan pada ‘khittah’ nya. Fokus pada studi, ga usah ikut ngurus negeri dan lulus dengan IPK tinggi.
“Ehh.. itu kopinya di sruputt lagi nak...” . Selorohku, sambil merajut kata yang ada didalam otakku.
Ketiga, tahun 1998. Walapun sebelum aksi besar 1998 sudah bermunculan letupan-letupan aksi kecil atas respon krisis moneter di pertengahan tahun 1997. Tuntutan mudurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Rakyatpun mengamini agenda nasional tersebut. Soeharto menjadi common enemy. Soeharto tumbang.
Terdengar lirih suara dari sebelah kanan saya “Mas kopine tinggal ampase, hik’e wes tutup”. suara dari seorang ‘biji’ yang dialeknya sepertinya bukan orang jawa. “Ya ampase di cur jarang panas meneh bae.” Usulku.
“lah itu yang sampaen ceritakan tadi kan fakta heroisme gerakan mahasiswa mas, terus yang mitos itu yang mana?”, tanya ‘biji’ cowok di depanku.
Melihat kenyataan tersebut, memang gerakan mahasiswa bukan hanya sekadar mitos. Mahasiswa menjadi martir perubahan (Agent Social Of Change). Atau lebih tepatnya merubah dari satu rezim ke rezim yang lain. Soekarno ditumbangkan dengan bacaan kondisi bahwa negara sudah kacau, harga kebutuhan pokok membumbung tinggi, menabrak prosedur demokrasi dengan membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan diganti dengan DPR-Gotong Royong dimana anggota diangkat langsung oleh Soekarno dan beberapa hal yang menjadikan Soekarno harus berhadapan dengan masa.
Beralih rezim pada Soeharto. 32 tahun memimpin dengan gaya mirip Niccolo Machiavelli, menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Walaupun Mbah Machiavelli juga wegah diserupakan dengan Soeharto. Teori Machiavellian lebih lepat untuk diletakkan pada dasar ilmu politik dan pemikiran awal yang mendorong terjadinya proses sekulerisasi (desakralisasi) politik.
Pada masa Orba, cuaca otoritarian lebih terasa dari pada iklim demokrasi. Semua tersentralisasi pada presiden dan Jakarta. Pers terkungkung. HAM ditelikung. KKN semudah memanen bayam dan kangkung. 1998 Soeharto digulung para oratur ulung.
Pasca 1998, gerakan mahasiswa dihadapkan pada kondisi yang multi-dimensional. Gerakan mahasiswa memiliki garis perjuangan dan agenda yang beragam. Secara kuantitatif dan kualitatif, gerakan mahasiswa mengalami devisit.
Pasca reformasi – hingga sekarang, demokrasi menemukan tempatnya. Adanya pemilu yang adil, dijaminnya kebebasan berpendapat dan komitmen untuk memberantas KKN pada setiap levelnya merupakan adanya perbaikan sistem pada tataran birokrasi. Dalam kondisi negara yang sudah demokratis seperti ini gerakan mahasiswa seakan-akan tak terlihat taringnya. Bahkan secara pribadi beranggapan bahwa eksistensi mahasiswa akan terlihat ketika negara berada situasi yang chaos. Idealisme mahasiswa akan bekerja dalam situasi itu. Pun juga gerakan mahasiswa akan teroganisir dan solid ketika terdapat sasaran tembak yang sama (common enemy).
Gerakan mahasiswa kontemporer mengalami kegamangan. Ada beberapa faktor yang cukup determinan menjadikan gerakan mahasiswa terlihat ‘masuk angin’. Faktor internal, kita tahu bahwa hari ini gerakan mahasiswa terkotak-kotak sesuai dengan lipatannya masing-masing. Lipatan tersebut berupa organisasi yang lebih besar di atasnya (ormas atau parpol). Konsekuensi dari ultra-sistem itu adalah organisasi kemahasiswaan akan rawan pecah pendapat dan sulit untuk mengkosolidasikan wacana gerakan mahasiswa. Karena mereka harus melewati fase konfirmasi vertikal (jargon Siapp Senior, ada perintah).
Hal lain yang berada pada faktor internal adalah kefasihan setiap individu atau struktur dalam mengelola opini yang muncul di publik. Tidak semua kebijakan harus dilawan dengan turun aksi unjuk rasa, kecuali memang unjuk rasa adalah ‘hobi’ ente. Artinya proporsional dalam respon cuaca politik publik.
Seperti yang sudah saya singung di atas bahwa kondisi negara yang demokratis menjadi tantangan baru dalam menata gerakan mahasiswa. Ini merupakan faktor eksternal. Musuh itu sudah berbentuk sistem, kultur dan struktur. Kemiskinan, pendidikan, kesejahteraan dll adalah perwujudan musuh hari ini. Gerakan mahasiswa seharusnya ada dorongan lain untuk ke arah tersebut. Meminjam istilah Habermas, harus terbentuk jembatan penghubung untuk mengejewantahkan idealisme menuju alam realitas. Jembatan paling ampuh adalah gerakan sosial yang tersistemik dan terprogram.
Sejalan juga dengan konsepan Habermas, selanyaknya gerakan mahasiswa masuk pada kerja ‘Intelektual Organik’ miliki Antonio Gramsci. Mahasiswa bukan hanya berada pada sumbu keintelektualan an sich, namun juga tangkas untuk mengoperasikan keilmuannya dalam tingkat praxis untuk kemakmuran rakyat.
“Ngono lho bro, leh tak maksut mitos mahasiswa sbg agent social of chenge”. simpulanku.
Saya sepakat ‘biji’ tersebut tidak reaksioner dalam ajakan aksi mahasiswa 121. Bukan karena aksi 121 juga dukung oleh FPI dkk, tapi lebih pada dangkalnya membaca prakondisi dalam menentukan aksi. Kalo kita candra pelaksanaan aksi mahasiswa 121 memang terlihat gerakan radikal-revolutif (momentum kondisional, isu penjatuhan rezim, media yang digunakan demonstrasi dan gerakan penggulingan dengan aktvitas gerakan/tindakan masa). Hiteria dengan membakar ban dan keranda disisipi dengan beberapa simbol negara.
Niat mendapat simpati rakyat, yang didapat justru malah umpat. Apalagi dengan hanya terbentuk nota kesepahaman dengan pemerintah (yang point-pointnya pun hambar) mereka mengklaim target aksi berhasil. Ini yang saya sebut dengan MITOS.
Berbeda dengan kegirangan Wiji Thukul ketika ia mengirim tulisan atau puisi ke media, ia selalu membeli perangko dengan gambar Pak Harto yang nanti nya perangko tersebut dipukuli oleh tukang post. Tapi kegirangan tersebut dibarengi dengan kerja inteletuil dan seni yang dapat menjadi api pembakar perlawanan.
Kombinasi gerakan massa dan gerakan intelektual pada mahasiswa akan menjadi surplus value dan memperkuat posisi tawar mahasiswa dalam kancah politik. Dalam artian gerakan mahasiswa harus menjadi pressure group baik melalui aksi massa atau aksi intelektual. Keduanya berjalan beriringan satu sama lain atau berjalan satu arah dimana gerakan berawal dari pengembangan kapasitas akademik ke gerakan aksi massa.
Gerakan mahasiswa saat ini lebih tepat bila diarahkan untuk mengisi diskursus publik yang memberkan penyadaran dan pendidikan kepada masyarakat luas. Begitu pula untuk mengoreksi berbagai kebijakan serta memikirkan arah perjalanan bangsa ke depan. Peranannya bersifat korektif dan transformatif untuk kemudian dikonsolidasikan dalam aksi massa nasional.
Akhirnya, hubungan dialektis antara bahasa negara dan bahasa gerakan mahasiswa akan berlangsung terus menerus sampai tatanan politik ideal benar-benar tercapai. Gerakan mahasiswa sebagai salah satu bentuk peranan politik akan terus berdenyut seiring persoalan kebangsaan belum usai. Tentu hal itu disesuaikan dengan konteks jaman yang selalu menuntut perubahan.
Eh sori, dari tadi saya nyebut para tamu saya dengan istilah ‘biji’. Tak maksut merendahkan, itu adalah doa agar kalian para biji bisa tumbuh dan bertunas di kemudian hari. Tunas PMII.
Eh satu lagi. Foto yang dipake untuk ikon tulisan ini adalah tokoh MITOS juga. haha.
---
Setelah masuk kamar, sang permaisuri yang masih setia menemani buah hai berujar “Mas mangan neng hik’e mau entek pitung puluh ewu”.
“Murah ya dek, mangani wong rongpuluhan gur entek sak mono” jawabku.
“Iyo murah, tapi sesuk duite ijoli, kui mau nggo duit pampers’e Jenar” sahut mbak Bojo.
“Nggeh”sambil garuk-garuk kepala.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI