Mohon tunggu...
Jampit L.S. Pamungkas
Jampit L.S. Pamungkas Mohon Tunggu... -

- Sekarang bekerja sebagai Corporate Social Responsibility di salah satu perbankan. - S1 hingga 14 semester - Penonton politik - Penulis amatiran - Sukak nasi goreng pake sayur

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mahasiswa dan Mitos Agent Social of Change

23 Januari 2017   17:45 Diperbarui: 23 Januari 2017   19:40 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orasi (Sumber : Jampit)

Pasca reformasi – hingga sekarang, demokrasi menemukan tempatnya. Adanya pemilu yang adil, dijaminnya kebebasan berpendapat dan komitmen untuk memberantas KKN pada setiap levelnya merupakan adanya perbaikan sistem pada tataran birokrasi. Dalam kondisi negara yang sudah demokratis seperti ini gerakan mahasiswa seakan-akan tak terlihat taringnya. Bahkan secara pribadi beranggapan bahwa eksistensi mahasiswa akan terlihat ketika negara berada situasi yang chaos. Idealisme mahasiswa akan bekerja dalam situasi itu. Pun juga gerakan mahasiswa akan teroganisir dan solid ketika terdapat sasaran tembak yang sama (common enemy).

Gerakan mahasiswa kontemporer mengalami kegamangan. Ada beberapa faktor yang cukup determinan menjadikan gerakan mahasiswa terlihat ‘masuk angin’. Faktor internal, kita tahu bahwa hari ini gerakan mahasiswa terkotak-kotak sesuai dengan lipatannya masing-masing. Lipatan tersebut berupa organisasi yang lebih besar di atasnya (ormas atau parpol). Konsekuensi dari ultra-sistem itu adalah organisasi kemahasiswaan akan rawan pecah pendapat dan sulit untuk mengkosolidasikan wacana gerakan mahasiswa. Karena mereka harus melewati fase konfirmasi vertikal (jargon Siapp Senior, ada perintah).

Hal lain yang berada pada faktor internal adalah kefasihan setiap individu atau struktur dalam mengelola opini yang muncul di publik. Tidak semua kebijakan harus dilawan dengan turun aksi unjuk rasa, kecuali memang unjuk rasa adalah ‘hobi’ ente. Artinya proporsional dalam respon cuaca politik publik.

Seperti yang sudah saya singung di atas bahwa kondisi negara yang demokratis menjadi tantangan baru dalam menata gerakan mahasiswa. Ini merupakan faktor eksternal. Musuh itu sudah berbentuk sistem, kultur dan struktur. Kemiskinan, pendidikan, kesejahteraan dll adalah perwujudan musuh hari ini. Gerakan mahasiswa seharusnya ada dorongan lain untuk ke arah tersebut. Meminjam istilah Habermas, harus terbentuk jembatan penghubung untuk mengejewantahkan idealisme menuju alam realitas. Jembatan paling ampuh adalah gerakan sosial yang tersistemik dan terprogram.

Sejalan juga dengan konsepan Habermas, selanyaknya gerakan mahasiswa masuk pada kerja ‘Intelektual Organik’ miliki Antonio Gramsci. Mahasiswa bukan hanya berada pada sumbu keintelektualan an sich, namun juga tangkas untuk mengoperasikan keilmuannya dalam tingkat praxis untuk kemakmuran rakyat.

“Ngono lho bro, leh tak maksut mitos mahasiswa sbg agent social of chenge”. simpulanku.

Saya sepakat ‘biji’ tersebut tidak reaksioner dalam ajakan aksi mahasiswa 121. Bukan karena aksi 121 juga dukung oleh FPI dkk, tapi lebih pada dangkalnya membaca prakondisi dalam menentukan aksi. Kalo kita candra pelaksanaan aksi mahasiswa 121 memang terlihat gerakan radikal-revolutif (momentum kondisional, isu penjatuhan rezim, media yang digunakan demonstrasi dan gerakan penggulingan dengan aktvitas gerakan/tindakan masa). Hiteria dengan membakar ban dan keranda disisipi dengan beberapa simbol negara.

Niat mendapat simpati rakyat, yang didapat justru malah umpat. Apalagi dengan hanya terbentuk nota kesepahaman dengan pemerintah (yang point-pointnya pun hambar) mereka mengklaim target aksi berhasil. Ini yang saya sebut dengan MITOS.

Berbeda dengan kegirangan Wiji Thukul ketika ia mengirim tulisan atau puisi ke media, ia selalu membeli perangko dengan gambar Pak Harto yang nanti nya perangko tersebut dipukuli oleh tukang post. Tapi kegirangan tersebut dibarengi dengan kerja inteletuil dan seni yang dapat menjadi api pembakar perlawanan.

Kombinasi gerakan massa dan gerakan intelektual pada mahasiswa akan menjadi surplus value dan memperkuat posisi tawar mahasiswa dalam kancah politik. Dalam artian gerakan mahasiswa harus menjadi pressure group baik melalui aksi massa atau aksi intelektual. Keduanya berjalan beriringan satu sama lain atau berjalan satu arah dimana gerakan berawal dari pengembangan kapasitas akademik ke gerakan aksi massa.

Gerakan mahasiswa saat ini lebih tepat bila diarahkan untuk mengisi diskursus publik yang memberkan penyadaran dan pendidikan kepada masyarakat luas. Begitu pula untuk mengoreksi berbagai kebijakan serta memikirkan arah perjalanan bangsa ke depan. Peranannya bersifat korektif dan transformatif untuk kemudian dikonsolidasikan dalam aksi massa nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun