Nampak jelas, kehadiran filsafat mampu memposisikan dasar-dasar suatu pengetahuan.
Dalam membaca alam, manusia dan Tuhan, filsafat hadir sebagai solusi yang adaptif untuk mendekonstruksikan kembali asal muasal bahwa kebenaran dan kebijakan itu masih hidup.Â
Baru-baru ini, ada fenomena yang berhubungan dengan proses cara berpikir manusia. Dalam konteks 'usaha berpikir', beberapa kebiasaan dari kita bila menghadapi masalah ingin mendapatkan solusi tercepat (shortcut), sehingga apapun itu yang terjadi inginnya instan, tanpa memikirkan perspekitif futuris dalam proses cara berpikir filosofis.Â
Contohnya, bisa kita lihat bersama, saat kita mencoba melakukan social experiment, terhadap beberapa orang di sekitar kita di era canggih ini, dilontarkan beberapa pertanyaan untuk mereka yang mendasarpun mereka hanya bisa menjawab 'cari saja di Google'.Â
Inilah ihwal kegaduhan kognisi, budaya literasi yang kita gembor-gemborkan hanya bisa men-Tuhan-kan si Google itu, seolah-olah apapun urusannya Google lah jawabannya.Â
Betul, tak dapat kita mungkiri, adanya teknologi canggih ini membuat kita dipermudahkan dalam segala urusan tetapi ada sesuatu yang hilang dari kebiasaan ini yaitu pola berpikir filosofis. Banyak di antara kita tidak mampu untuk berfalsafah, sehingga narasi yang dibangun pun tak mampu dijamah, akibatnya negara kita pun dilanda krisis membaca yang antah berantah tanpa ada pencarian tujuan yang berkah.
Salah satu yang sedang ramai dari dampak ini adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila. Sebagian dari kita yang lemah tidak mampu untuk berfalsafah berakibat fatal dalam membangun narasi pondasi negara sehingga hari Ini permasalahan RUU Haluan Ideologi Pancasila pun masih diutak-atik oleh sebagian pemangku agung.Â
Padahal, rumusan Pancasila yang sah tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Tahun 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bukan kembali kepada narasi 1 Juni 1945. Hal ini sudah jelas menyalahi konsensus dalam berbangsa dan bernegara karena Pancasila sebagai falsafah bangsa yang berarti sebagai pedoman dan pandangan hidup.Â
Kemudian, isi rumusan pasal-pasal RUU Haluan Ideologi Pancasila ini dinilai bertentangan dengan Pancasila, dinilai merendahkan agama bahkan diprediksi ada bumbu-bumbu ideologi baru yang bertentangan dengan Pancasila.
Ini pun belum berakhir, kita sekarang diuji dalam memahami narasi yang dibangun. Televisi, media masa, media sosial, koran, dan informasi-imformasi lainnya pun kini menjadi pusat perhatian dalam menarasikan berita sehingga apapun itu, masyarakat biasa seperti kita hanya bisa menelan saja.
Andai kata berpikir filosofis ini bersemayam di kalangan pemangku agung, maka RUU HIP ini pasti akan ditolak karena bertentangan dengan Pancasila, tetapi apabila dilanjut dan disetujui, lantas siapa sekarang yang miskin literasi?Â