Kita pernah mendengar pepatah 'banyak jalan menuju Roma' artinya kita yakini bahwa memiliki tujuan yang baik dengan cara apapun akan ada jalan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, asalkan kita bersungguh-sungguh.Â
Nah, pepatah ini kita coba putar balikan kata perkatanya menjadi 'Roma menuju jalan yang banyak'. Memang kedengarannya agak rancu tetapi bisa kita interpretasikan kalimat itu dengan satu wujud keinginan yang mampu melahirkan berbagai cara.Â
Begitupun dengan Filsafat, mempelajarinya bak lautan ilmu yang luas, karenanya kita terus dibuat penasaran dan haus akan membaca, efek samping inilah yang harus dipertahankan dan dibudayakan oleh masyarakat abad 21 untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang didapatkan.Â
Sayangnya, mendengar filsafat dari orang yang malas membaca akan melahirkan stigma bahwa filsafat itu menyesatkan, ditambah lagi, bila disangkutpautkan dengan nama agama, pasti ambyar, ujung-ujungnya kita akan dianggap sesat tanpa ada dalih yang kuat yang bisa membuatkan bahwa filsafat itu menyesatkan.Â
Padahal, dalam pandangan Islam filsafat itu penting dipelajari, dengan landasan bahwa Al-Quran dan As-sunnah itu absolut wujudnya dan memfokuskan objek materi terhadap ilmu pengetahuan yang diteliti. Selain itu, materi yang sedang kita teliti pun menjadi forma yang mendalami secara sistemis  untuk  berspekulasi sebagai bentuk pandangan baru (point of view) dari berbagai aspek yang dikaitkan terhadap ilmu pengetahuan yang sedang diteliti tersebut.
Tanggapan dan pandangan tentang filsafat pun bermunculan, ada yang beranggapan filsafat itu harus dibarengi dengan aqidah yang kuat agar mengarungi samudra filsafat ini menjadi suatu perisai untuk dirinya sendiri. Ada juga yang menganggap bahwa filsafat ini dilarang untuk dipelajari, karena bisa membahayakan orang-orang dalam berpikir.Â
Semua alasan itu nyata adanya, tetapi kedudukan filsafat yang dianggap sesat hanya bagi orang yang setengah-setengah mempelajarinya, ini yang membahayakan agama dan bangsa, karna hal ini bisa melahirkan generasi agnotis dan skeptis. Di sinilah letak kekuatan dan kedudukan bahwa tuhannya membaca itu adalah filsafat, sifatnya pun bisa deduktif maupun induktif dalam ragam prespektif kajian.
Bukan lagi menjadi rahasia umum, dengan membaca kita mengetahui apa yang kita tidak tahu sebelumnya. Kunci akar pengetahuan itu ada pada wujud filsafat itu sendiri sebagai induk segala ilmu pengetahuan (mater scientiarium).Â
Bisa kita bayangkan, apapun itu ilmunya, pasti menginduk ke filsafat sebagai ibu dari segala ilmu pengetahuan. Menurut Titus, filsafat adalah sekumpulan masalah (pertanyaan-pertanyaan) dan juga solusi atau jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Dalam kajian filsafat, bila membahas tentang alam akan menghasilkan teori kealaman yang disebut Kosmologi, membahas tentang manusia akan menghasilkan teori kemanusiaan yang disebut Antropologi, dan membahas Tuhan akan melahirkan teori ketuhanan yang disebut dengan Teologi.Â
Selain Kosmologi, Antropologi dan Teologi, berkembanglah pemikiran-pemikiran filosofis lainnya dan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam, di antaranya objek manusia dan masyarakat menghasilkan kajian pengetahuan sosial dan humaniora (humanity and social sciences), terhadap objek alam dan unsur-unsurnya berkembanglah ilmu pengetahuan kealaman (natural sciences) dan matematika. Lalu, objek ketuhanan akan berkembang menjadi kajian pengetahuan agama (religious sciences).Â