Mohon tunggu...
Jamjam Sapaat
Jamjam Sapaat Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati Pendidikan

Awardee of Teacher's Profesional Development in South Australia 2017 | Teacher Training in University of Adelaide

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hei Orang Tua, Setop Menyalahkan Guru!

9 Mei 2020   23:00 Diperbarui: 20 Juni 2020   17:29 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era disruptif ini, pendidikan menjadi kunci untuk menghadapi masa depan. Bermunculannya pengetahuan baru dengan cepat, mengubah paradigma cara berpikir setiap pendidik maupun peserta didik. Beberapa solusi pun dari para pakar pendidikan disumbangsihkan untuk para pendidik dalam membangun dan mencerdaskan generasi bangsa.

Ada hal unik namun miris yang bisa kita temukan di era yang serba canggih ini, berubahnya pola berpikir siswa yang serba instan mampu mengabaikan seluruh aspek yang berhubungan dengan pendidikan dan perilaku. Kenapa bisa dibilang instan? 

Adanya teknologi bukannya dimanfaatkan untuk bisa memacu berpikir kritis, tetapi malah menjadi senjata bagi siswa untuk menjawab soal-soal yang diberikan oleh guru tanpa memperhatikan menyaring sumber bacaan yang dibaca, ujung-ujungnya siswa hanya cukup "Copy & Paste". 

Seharusnya adanya teknologi ini mampu melahirkan keterampilan abad 21 yang bisa menjadi solusi pemecahan masalah di masa depan bukan menjadi penyakit yang bisa merusak perilaku. 

Hukum kausalitas baru pun lahir di era ini, hampir semua orang tua pernah mengeluh masalah perilaku yang hubungannya dengan perkembangan buah hatinya. Artinya, tidak boleh main-main masalah perilaku, akibatnya bisa fatal. 

Mendidik berbeda dengan mengajar, mengajar berbeda dengan melatih, melatih pun berbeda dengan membimbing. Semua aspek tersebut memiliki porsi lahan masing-masing serta memiliki olahan dan racikan yang berbeda pula. 

Semua ini berawal dari rumah, hitunglah dengan cermat berapa jam anak di sekolah dibandingkan dengan jam anak di rumah, jangan anggap waktu yang sedikit mampu memberikan sumbangsih lebih banyak terhadap perilaku anak. 

Tidak usah jauh-jauh kita berteori cara mengajar atau mendidik anak yang efektif, bisa kita lihat contoh percakapan sederhana antara guru dan siswa yang telat masuk kelas,

Guru: Mengapa kamu telat nak?

Siswa: Terlambat bangun pa.

Guru: Ga dibangunkan sama orang tua nak? 

Siswa: Tidak pa. 

Guru: Kenapa?

Siswa: Bapa & ibu saya pun belum bangun pa.

Guru: Berarti tadi tidak solat Shubuh?

Siswa: Tidak pa . . . Maaf. 

Itu hanya salah satu contoh gambaran yang bisa kita jadikan ibroh (pelajaran), dan masih banyak hal-hal lain dari rumah yang membawa ketidaksuksesannya perilaku anak, ditambah bila lingkungan sekitar rumah yang tidak mendukung, sudah pasti menjadi sasaran empuk untuk jadi objek yang selalu dinasehati karena perilakunya baik dari temannya maupun guru-guru termasuk guru BK di sekolahnya. 

Sampai saat ini, penulis belum yakin ada Guru Hebat yang bisa menjadikan Siswa Hebat tanpa didasari dari Keluarga Hebat. Keluarga Hebat itu bukan berarti orang tuanya yang berpendidikan tinggi dan berduit, tapi orang tua yang mampu intropeksi diri dalam perilakunya sendiri. 

"Like Father, Like Son" tersirat bahwa peran orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anaknya (Linneman, 481:2014), itulah peribahasa yang bisa kita jadikan cerminan sebagai intropeksi diri kita sendiri dalam mendidik anak. 

Kita ambil contoh sekolah yang polanya cetakannya mendidik, seperti Pesantren dan sekolah-sekolah berasrama lainnya, mereka dididik dan dicetak  sesuai pola yang ingin dicapai. Contoh lainnya sekolah yang pola nya memberikan pengajaran (transfer ilmu) saja tapi berusaha semaksimal mungkin untuk merubah perilaku siswanya seperti sekolah umum. 

Ada juga pola yang hanya ingin mencapai tujuan tertentu dalam memperdalam dan mengembangkan suatu ilmu sesuai minat & bakatnya, itu bisa didapatkan di lembaga pelatohan atau kursus. 

Tetapi, apakah semua itu mampu merubah perilaku anak secara kaffah (menyeluruh)? Jawabannya tidak semuanya mampu, karna ada porsi suapan dan takarannya masing-masing. 

Untuk melengkapi jawaban ini penulis menyarankan konsep Triangular Communication & Action (TCC) diterapkan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan perilaku & ketercapaian siswa dalam pembelajaran. Konsep TCC ini digambarkan dalam grafik berikut ini,

TCC
TCC

Gambar grafik tersebut menjelaskan bahwa alur komunikasi yang baik sebagai solusi memecahkan masalah adalah adanya keterkaitan antara Guru, Siswa dan Orang tua, serta tidak hanya komunikasi yang diterapkan tetapi tindakan dari tiga peran tersebut harus terus dijalankan. Sehingga simbol berlian itu akan muncul sebagai harapan penentu masa depan. Simbol berlian mengartikan adanya kekuatan dan keseimbangan demi tercapainya tujuan yang diinginkan, karena perilaku (adab) tidak bisa dibayar dengan uang. 

Tidak hanya TCC yang mampu memperbaiki, ada juga yang mampu merusak tatanan TCC tersebut yaitu lingkungan menjelma sebagai kaum protagonis maupun antagonis, bisa mengacak-acak tatanan tujuan mulia konsep TCC tersebut. 

Di tengah Covid-19 ini, kita bisa melihat ada siswa yang merayakan kelulusannya dengan cara brutal, padahal kalau kita lihat mereka tidak melalui uji tes pada umumnya (Ujian Nasional) lalu mereka bahagia karna apa? 

Ada juga yang demi konten melakukan hal yang di luar nalar naluri manusia, seperti memberikan "sembako sampah" dibungkus rapih layaknya sembako pada umumnya tetapi di dalamnya hanya sampah. 

Bahkan demi kepopularannya agar viral, ada yang sampai ke ranah rukun iman & islam, seperti canda-candain solat yang direkam melalui aplikasi termasyhur agar viral lalu diunggah ke media sosial lainnya dan tantangan minum air di siang hari saat bulan Ramadhan. Astagfirulloh! Mereka terkenal karna menghinakan dirinya sendiri di saat orang berlomba-lomba memperbaiki diri (hijrah). Apakah adab itu menjelma seperti itu? 

Dari tahun 2012 sampai sekarang, penulis sudah menjadi Guru dan pemerhati pendidikan. Tidak tanggung-tanggung, penulis pernah menjadi guru di berbagai level, mulai dari TK, SDLB, SMP, SMA, SMK, MTs, MA, Pesantren Salaf, Tahfidz maupun Modern, baik yang di kota, perbatasan, pelosok maupun di luar negeri. Semua pengalaman penulis itu hanya dijadikan khazanah pribadinya. 

Penulis memberikan masukan untuk para orang tua bahwa tujuan mulia pendidikan di mana pun sama. Haqqul-yaqiin, yang membedakan hanya pola. Katakteristik pola ini bisa dibentuk dan didiskusikan dengan konsep TCC sesuai tujuan yang ingin dicapai. Bagaimana bisa membentuk pola? Semua itu bermuara dalam TCC, peran Guru, Siswa dan Orang tua. 

Adab tak mampu dicapai dengan uang. Penulis membongkar pengalamannya saat ia berguru agama dengan para Kiai dan Ustadz nya, awal yang dites adalah ADAB bukan ILMU, sesekali dites tentang Ma'rifat. Hal ini sangat penting bahwa perilaku menentukan derajat seseorang. Menurut Einsten dalam buku Holistic Pedagogy bahwa karakter lebih penting dari pada pengetahuan (Ricci dan Pritscher, 32:2015). Maka dari itu, Beradab Dulu Sebelum Berilmu. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan di Indonesia masih condong mementingkan ilmu dari pada karakter, kurikulum pendidikan karakter di Indonesia digemborkan pada tahun 2017 yang diterbitkan melalui perpres No. 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). 

Meskipun sudah berjalan sampai sekarang, PPK ini belum bisa melengkapi ketercapaian karakter yang diinginkan bila TCC ini tidak digerakan atau dipraktekan dalam visi dan misi bersama antara Guru, Siswa dan Orang Tua. 

Sebagai contoh gambaran dalam dunia pendidikan tentang bagaimana karakter mampu mengubah perilaku seseorang adalah kurikulum yang dipakai di beberapa negara maju. Misalnya, Jepang terkenal dengan pendidikan moral yang disebut dengan "Kokoro No Note" atau buku catatan. Buku tersebut dirancang dan dilengkapi dengan bahan belajar soal pendidikan moral. 

Di Singapura, pendidikan moral diterapkan dalam Character and Citizenship Education (CCE) sebagai jantung dalam sistem pendidikan. Begitupun pemdidikan moral yang diterapkan di Finlandia. Negara yang memiliki reputasi pendidikan terbaik di dunia. 

Apakah pendidikan negara-negara yang lebih mengedepankan moral itu gagal atau lebih sukses dari pada yang hanya sekedar mengedepankan transfer ilmu saja? 

Jawabannya jelas, lebih sukses dan beradab. Mungkin bila ada rezeki, bisa kita jalan-jalan ke negara tersebut, dijamin betah dan aman. Itulah pentingnya pendidikan moral. 

Untuk para ibu dan bapak yang berperan sebagai orang tua, di tengah pandemi Covid-19 ini, ibu bapak baru diuji dalam membimbing pembelajaran saja sudah kewalahan minta ampun sudah banyak keluhan ini itu padahal itu anak sendiri, itu baru beberapa bulan, bagaimana dengan Guru?  

Mereka (guru) tidak pernah merasa mengeluh dalam mengajar meski ada sampai saat ini beberapa guru yang kucuran keringatnya hanya dibayar dengan cap "Ikhlas". 

Andai adab bisa dibayar dengan uang, mungkin sekolah-sekolah favorit berlebel taraf ini dan itu layaknya promosi marketing  dan orang yang berduit pasti mampu membayar "Adab". 

Itulah kenapa Keluarga Hebat bukanlah keluarga yang berpendidikan tinggi dan berduit tetapi Keluarga Hebat adalah orang tua yang mampu mengintropeksikan diri sendiri. Penulis paham, bahwa ini tidak mudah. 

Penulis pun seorang guru yang baru dikaruniai satu anak itu pun masih balita, sudah gemetar membuka pintu masa depan, apalagi ibu bapak yang memiliki lebih dari satu anak, ini tidak bisa main-main demi perkembangan anak haruslah ditata sebagai langkah antisipatif dalam merencanakan masa depan. 

Maka dari itu, marilah kita berpegang erat bersama menjalankan konsep TCC, yaitu tindakan dan komunikasi yang baik antara Guru, Siswa, dan Orangtua. Analoginya, singa tidak mungkin memakan singa atau mememakan anak singa, tetapi manusia? Mungkin terjadi, maka beradablah sebelum berilmu, karna Adab tidak mengenal umur. 

References

Carlo, Ricci dan Pritscher, Conrand, 2015. Holistic Pedagogy: The Self and Quality Willed Learning. Switzerland: Springer.

Linnemam J, Thomas, 2014. Social Statistics: Managing Data, Conducting Analyses, Presenting Results. United Kingdom: Routledge.

Nofrion, 2016. Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Simarmata, Janner dkk. 2020. Pendidikan Di Era Revolusi 4.0: Tuntutan, Kompetensi & Tantangan. Medan: Kita Menulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun