Mohon tunggu...
Jamila Naflah
Jamila Naflah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Andalas

Literasi, Ilmu pengetahuan dan Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Ladang Ubi ke Ketahanan Pangan: Potensi Pangan Lokal untuk Indonesia yang Mandiri di Tengah Dominasi Nasi

3 November 2024   16:38 Diperbarui: 3 November 2024   16:50 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengadaan keberagaman pangan lokal sangat penting agar masyarakat Indonesia tidak terjebak dalam ketergantungan pada satu jenis sumber pangan saja. Kasus gizi buruk yang semakin meningkat di Indonesia merupakan cerminan dari keterikatan kita pada beras yang harganya terus melambung, ditambah lagi dengan bertambahnya jumlah penduduk yang membuat harga beras semakin tak terkendali. Saat ini, di berbagai daerah, kita sering mendengar keluhan mengenai mahalnya harga beras, yang tentunya berdampak pada kemampuan masyarakat untuk mengakses pangan bergizi.

Hal ini tentunya menjadi kontradiksi terhadap undang-undang pangan No. 18 tahun 2012 yang menyatakan bahwa kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sementara itu, ketahanan pangan sendiri adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang dapat dilihat dari tersedianya pangan yang baik dan cukup, aman, bergizi, merata, serta tidak menentang keyakinan dan budaya masyarakat.

Dalam konteks ketahanan pangan global, ketergantungan pada pangan lokal berarti kita dapat menjadi lebih mandiri dan tidak terpengaruh oleh gejolak pasar internasional. Di saat harga gandum dan beras fluktuatif, masyarakat yang mengandalkan pangan lokal seperti ubi memiliki tingkat ketahanan pangan yang lebih baik. Keberagaman sumber pangan ini adalah salah satu jalan untuk membangun ketahanan yang adaptif, tidak rentan terhadap perubahan iklim atau tantangan ekonomi global.

Dari sinilah saya mendapat jawaban atas pertanyaan saya. Bukankah ada lebih banyak lagi sumber pangan pokok yang dapat diperoleh secara lebih mudah dan ekonomis?

Dalam sebuah diskusi bersama Ibu Dr.Ir. Nalwida Rozen, MP, selaku dosen Universitas Andalas, menjelaskan bahwa ketergantungan masyarakat Indonesia pada nasi telah menimbulkan tantangan besar dalam upaya diversifikasi pangan. “Kita sering kali merasa belum kenyang jika belum makan nasi,” ujarnya. Selain itu, stigma terhadap ubi sebagai makanan kelas bawah juga menjadi penghambat bagi penerimaan ubi dan panganan lainnya sebagai bagian dari makanan pokok.

Saya secara pribadi menyadari sterotip masyarakat kita yang sejak turun temurun menerapkan pandangan yang demikian, maka tak heran proses diversitas pangan dinilai sangat lambat. BKP sendiri sejak 2020 telah menargetkan diversitas pangan lokal untuk menurunkan tingkat konsumsi beras dari 94,9 kg/kap/tahun (2019), hingga kini menjadi 85,0 kg/kap/tahun (2024). Saya pribadi menilai langkah ini cukup berhasil melihat angka penurunan yang signifikan dan digantikan dengan konsumsi pangan lain seperti ubi, jagung, sagu, kentang, pisang dan talas.

Namun, Nalwida melihat secercah harapan di tengah tantangan ini. “Beberapa kalangan menengah ke atas mulai menyadari dampak kesehatan dari konsumsi nasi putih. Misalnya, beras porang kini mulai diterima sebagai alternatif nasi,” jelasnya. Harapan itu pun meliputi ubi dan sumber pangan lainnya, yang diharapkan suatu hari akan mendapatkan perhatian yang sama dan stigma sebagai “makanan kelas bawah” dapat diubah menjadi persepsi yang lebih positif. Upaya-upaya ini sangat penting untuk memastikan bahwa ubi tidak hanya dipandang sebagai makanan rakyat, tetapi sebagai bagian penting dari pola makan sehat yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

Untuk mendorong konsumsi ubi, berbagai inisiatif edukasi bisa dilakukan, seperti penyuluhan pertanian mengenai manfaat ubi, cara pengolahan yang beragam, serta cara menanamnya yang sederhana. Pendekatan yang kreatif dan interaktif, seperti mengadakan lomba memasak dengan bahan dasar ubi, bisa menarik minat masyarakat untuk lebih mengenal potensi ubi. Dengan mengenalkan berbagai macam hidangan berbahan dasar ubi, masyarakat dapat melihat bahwa ubi bisa diolah menjadi makanan yang lezat dan bernutrisi tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun