Konversi dari kompor gas ke kompor listrik lagi menghangat. Silang pendapat berseliweran, ada yang mendukung tapi lebih banyak yang menolak.
Jelas beleid ini adalah upaya pemerintah untuk menekan impor gas yang menyalakan kompor-kompor dirumah agar ada ruang yang cukup leluasa di APBN untuk digunakan menunjang pembangunan. Atau dalam istilah kerennya dialokasikan kepada hal yang produktif daripada sekedar konsumsi saja.
Saya saat ini masih menggunakan kompor yang dinyalakan oleh gas. Dan sudah melirik dan mempelajari kompor listrik melalui google dan lainnya.
Dan saya akhirnya berkesimpulan bahwa kompor gas dan kompor listrik tidaklah berbeda. Semuanya sama hanya yang membedakan adalah sedikit cara pakainya saja.
Dan kompor listrik bukanlah hal yang baru - tetapi sudah lama digunakan oleh manusia utamanya mungkin dinegara-negara maju.
Setelah sedikit merenung dan tepekur, akhirnya saya bisa menemukan benang merah mengapa begitu banyak penolakan terjadi kendati masih dalam tahap wacana.
Jawabnya adalah bukan masalah tehnis seperti apakah listriknya cukup dan lain sebagainya - akan tetapi kepada masalah kultural. Masalah kebiasaan sehari-hari saja.
Oleh karena itu, mungkin untuk menjelaskan bagaimana kompor listrik ini bukan lagi pejabat pemerintah - tetapi lebih cocok dan tepat adalah publik figur atau influencer sehingga bisa lebih diterima oleh khalayak ramai.Â
Dan utamakan lebih dulu sosialisasi oleh orang-orang ini dikota besar.
Segala sesuatu yang baru memang sulit diterima, tetapi sekali sudah masuk dalam kebiasaan susah untuk ditinggalkan. semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H