Kian hari kesenjangan ekonomi diseluruh dunia melebar. Yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin terpuruk.
Kejadian ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi meluas hampir diseluruh dunia.
Orang yang kaya semakin kaya bisa kita lihat rupanya dari kenaikan gila-gilaan harga saham di wall street selama masa pandemi awal di tahun 2020 dan berlanjut ke tahun 2021 yang lalu.
Kenaikan harga saham bisa mencapai 10 kali lipat dari sebelumnya, ini hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki akses erhadap pasar di wall street dan memiliki data kecenderungan dunia akan kemana.
Lalu apa hubungannya antara kemiskinan dan pendidikan dalam hal ini. Tentu saja ada.
Sudah banyak penelitian dan bukti-bukti empiris bahwasanya semakin baik tingkat pendidikan suatu negara, maka tingkat kesejahteraannya semakin meningkat atau angka kemiskinannya menurun.
Akan tetapi informasi ini ternyata tak mampu membuat para pemimpin yang membuat kebijaksanaan untuk memberikan perhatian yang cukup dalam bidang pendidikan.
Pembenahan dilakukan secukupnya saja, tidak mendasar dan meluas.
Upaya kecil yang dilakukan ini tidak bisa juga disalahkan sepenuhnya kepada para politisi yang terpilih untuk memegang amanah memimpin negeri, sebab membenahi pendidikan sebuah negeri bukanlah upaya sekejab. Butuh waktu lebih dari 5 tahun, sedangkan usia jabatan politik hanya 5 tahun.
Perbaikan pendidikan membutuhkan paling tidak satu generasi atau 20 tahun agar menampakkan hasil yang nyata. Dan itupun harus didukung oleh dana yang besar sebagai modal berbenah.
Rancangan perbaikan pendidikan yang dulu disusun 10 tahun yang lalu tidak lagi bisa dipakai sebagai rujukan untuk berbenah, karena zaman sudah berubah dan kebutuhan keahlian juga berbeda.
Pendidikan dewasa ini bukan lagi pendidikan yang harus ditempuh di universitas - sebagai satu-satunya sarana pendidikan tinggi. Pendidikan di zaman ini bisa dilakukan dimana saja, yang penting adalah kurikulumnya terstandarisasi dan berpijak kepada kebutuhan real yang ada dipasar.
Oleh karena itu perlu mungkin konsep belajar yang kita kenal 30 tahun lalu yaitu model universitas terbuka.
Mahasiswa atau pelajar tetap mendapatkan ilmu sebagai bekal untuk berpikir sistematis akan tetapi juga memiliki fleksibilitas waktu dan tempat, sehingga bisa menekan biaya.
Adapun kurikulum yang dibuat janganlah lagi terlalu banyak mata pelajaran atau mata kuliah yang tidak memberikan mafaat secara langsung terhadap kemampuan si pelajar atau mahasiswa untuk mandiri setelah selesai pendidikan.
Penekanan kepada cara perpikir logis dan memakai akal sehat untuk memecahkan sebuah masalah yang muncul hendaknya menjadi prioritas, bukan lagi yang sifatnya hanya menghafal.
Karena pendidikan sangat berkaitan erat dengan kelangsungan hidup sebuah bangsa dan interaksinya dengan bangsa lain - selain tingkat kemiskinan.
Oleh karena itu apa yang akan terjadi pada sebuah bangsa atau negara bisa diamati dari bagaimana pendidikan dijalankan di negara tersebut.
Contohnya lihatlah negara-negara skandinavia, sistem pendidikan mereka bagus sekali - hasilnya ekonomi mereka tumbuh dengan baik, rakyatnya sejahtera dan tingkat kebahagiaan rakyatnya ketika diukur selalu berada diperingkat atas - kelompok orang yang bahagia.
Harapan ini tentunya juga kita angankan bisa dinikmati oleh Indonesia. Jika kita memulainya tahun ini 2022, maka hasilnya baru kita bisa nikmati ditahun 2042 atau mendekati peringatan 100 tahun Indonesia. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H