Sampai 2 tahun lamanya si orang tua tidak pernah meminta bantuan dari anak-anaknya untuk biaya pengobatan dan perawatannya. Karena selama ini si ayah menggunakan uang tabungan yang dikumpulkannya semasa ia masih mampu bekerja.
Satu hari karena uang tabungannya sudah habis, ia memanggil kelima anaknya untuk datang kerumahnya. Dalam pertemuan bapak dan anak, si ayah mengungkapkan kesulitannya saat ini - ia tak lagi mampu membiayai kehidupannya karena uang tabungannya sudah habis.
Ia berharap anak-anaknya berkenan untuk memberinya uang bulanan, yang selama ini tidak pernah ia peroleh dari anak-anaknya karena ia masih mampu bekerja sebelum mengalami stroke.
Setelah pertemuan itu, semua anaknya berembuk untuk membantu si ayah. Akhirnya disepakati bahwa kontribusi untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sang ayah disesuaikan dengan kondisi ekonomi dari masing-masing anak.
Yang paling kaya memberikan kontribusi yang paling banyak atau paling besar, lalu menurun terus besarannya hingga anak bungsu yang paling tidak mampu secara ekonomi.
Ilustrasi dari orang tua yang tak lagi mampu membiayai kehidupannya sendiri diatas adalah cermin kondisi negara kita saat ini.
Jadi, mereka yang kaya secara ekonomi selayaknya memberikan kontribusi pajak yang jauh lebih besar dibandingkan yang kurang mampu untuk membiayai berjalannya pemerintahan negara. Tepat seperti ilustrasi tadi.
Oleh karenanya, yang tidak terdampak untuk berkontribusi, hendaknya tak perlu ketakutan atau sengaja ketakutan. Yang ada seharusnya mendorong rekan sebangsa dan setanah air yang berlebih untuk berkontribusi lebih besar. Dan tidak usah dipolitisir, ibu pertiwi membutuhkan pertolonganmu. Jika tak mampu menolong - jangan membuat susah. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H