Model percakapan antar individu saat ini didominasi dengan menggunakan alat komunikasi dalam bentuk teks - salah satunya menggunakan whatsapp.
Sangat sulit untuk dapat melihat apa yang terjadi dengan bahasa tubuhnya ketika percakapan terjadi. Padahal sebuah komunikasi akan menjadi lengkap bila bisa melihat bahasa tubuh dari lawan bicara kita - karena kadang kata tak mampu mendeskripsikan sebuah keadaan disebabkan oleh keterbatasannya.
Untuk mengatasi kesenjangan itu, dibuatlah emoticon yang bisa mewakili ekspresi tubuh dari lawan bicara seperti, emoticon tersenyum, sedang marah, kesal, tertawa dan lainnya.
Tapi dengan berjalannya waktu, emoticon itu mengalami "inflasi" - tak lagi bisa sepenuhnya mewakili emosi si pengirim oleh karena terlalu sering ditampilkan.Â
Ia tak lagi bermakna, hanya sebuah gambar yang lucu dan kehilangan pesannya.
Maka tak jarang, jika dalam sebuah grup whatsapp, ada anggota grup yang begitu aktif dalam percakapan didalam grup dan juga ekspresif dalam komunikasi yang selalu menyertakan emoticon sebagai ekspresi emosinya. Pada saat copy darat, ia hanya terdiam tanpa suara dan menjadi penonton yang setia.Â
Tidak terlibat aktif dalam pembicaraan seperti yang biasanya di grup WA. Sedangkan mereka yang biasanya pendiam sekali dalam grup WA, ketika copy darat tampil sebagai primadona - selalu berbicara dan semua serba ekspresif.
Ya, itulah model komunikasi kita saat ini. Apa yang terlihat kadang bukanlah yang sebenarnya.
Sebuah pola komunikasi yang kering dengan makna, semua serba lipstik saja untuk memenuhi tren dan musim. Pandemi saat ini semakin mengukuhkan keberadaan komunikasi tanpa bahasa tubuh.
Sudah saatnya kita beralih berkomunikasi dengan menggunakan video call, agar bisa merasakan kembali sensasi bahasa-bahasa tubuh yang murni tidak ditutupi oleh kata-kata dan emoticon. Komunikasi yang menghidupkan dan menghangatkan sebuah relasi. Bukan komunikasi yang asal ramai tanpa makna. Semoga.