Mohon tunggu...
James William Kusumawikan
James William Kusumawikan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Diponegoro, saya bersemangat dan memiliki ketertarikan untuk menjelajahi dunia diplomasi, kebijakan luar negeri, politik internasional, hak asasi manusia, dan studi wilayah. Tidak hanya itu, ketertarikan saya yang mendalam terhadap dinamika geopolitik dan isu-isu militer menambahkan dimensi yang menarik dalam pemahaman saya terhadap kompleksitas tata dunia yang sedang berkembang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hanya Nuklir Alat Diplomasi Korea Utara, Trump dan Prabowo jadi Kunci Perdamaian?

15 September 2024   23:21 Diperbarui: 16 September 2024   01:04 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Korut unjuk rudal balistik dalam parade militernya. (KCNA via KNS/AFP)

Nuklir, rudal, kendaraan tempur, dan rezim diktator mungkin menjadi hal pertama yang terlintas saat mendengar Korea Utara. Namun, bagaimana jika itu satu-satunya kekuatan yang mereka miliki? Pertanyaan ini dapat mengubah pandangan negara-negara yang berkonflik dengan Korea Utara, terutama di tengah ketakutan global akan kiamat nuklir dan potensi Perang Dunia ke-3. Gejolak di Semenanjung Korea yang terus memanas menjadi "alarm" pengingat agar kita tidak meremehkan isu ini.

Korea Utara, yang dikenal sebagai "The Hermit Kingdom," telah lama mengisolasi diri dari dunia internasional untuk menghindari pengaruh Barat dan menyembunyikan berbagai masalah internal. Menurut peneliti di Vienna University of Economics and Business, sekitar 60 persen penduduknya, atau 15 juta orang, hidup dalam kemiskinan ekstrem pada 2020, tanpa akses memadai terhadap pangan, air bersih, dan layanan kesehatan. Namun, meskipun terbatas, Korea Utara tetap bertahan dengan mengandalkan propaganda dan kekuatan militer. Nuklir, selain menjadi senjata pertahanan, juga digunakan sebagai alat diplomasi yang memaksa negara lain, termasuk Amerika Serikat, untuk berunding.

Doktrin Songun dan Strategi Bertahan Korea Utara

Kim Jong Un, tengah melakukan sesi foto dengan rakyat yang merayakan Hari Pemuda pada Selasa, 31 Agustus 2021. (KCNA/KNS via AP)
Kim Jong Un, tengah melakukan sesi foto dengan rakyat yang merayakan Hari Pemuda pada Selasa, 31 Agustus 2021. (KCNA/KNS via AP)

Korea Utara mengadopsi doktrin "Songun," yang memprioritaskan kekuatan militer untuk menjaga keamanan negara dan melindungi rezim Kim (Frank, 2006). Setelah runtuhnya Uni Soviet di tahun 1990-an, Korea Utara menghadapi kesulitan ekonomi yang diperparah oleh sanksi internasional yang melarang ekspor-impor, termasuk teknologi nuklir. Meski demikian, Korea Utara berhasil beradaptasi dengan sanksi melalui metode ilegal seperti penyelundupan dan penggunaan kapal "hantu" yang didukung oleh Tiongkok (Berlinger, 2020; Sang-Hun, 2020).

Doktrin "Songun" ini semakin memperkuat isolasi Korea Utara dari komunitas internasional. Penekanan pada militer dan senjata nuklir sebagai alat utama pertahanan negara membuat Korea Utara dianggap sebagai ancaman oleh negara-negara tetangganya seperti Korea Selatan, dan Jepang. Akibatnya, Korea Utara menjadi semakin terisolasi dan tergantung pada taktik intimidasi militer untuk mempertahankan eksistensinya di panggung internasional. Di era sekarang, kebijakan ini juga memperkuat kedudukan Korea Utara sebagai negara dengan risiko tinggi, terutama dalam hal stabilitas kawasan Asia Timur.

Dalam menghadapi tekanan global, Korea Utara menerapkan strategi autarki melalui ideologi Juche yang mengandalkan sumber daya domestik, namun sering gagal memenuhi kebutuhan masyarakat, memperburuk kondisi ekonomi. Meskipun sanksi internasional dari PBB, Amerika Serikat, dan Uni Eropa semakin menekan ekonomi, Korea Utara tetap melanjutkan program nuklirnya. Seperti dijelaskan oleh Wendt (1999), rezim ini semakin mengandalkan senjata nuklir sebagai alat utama untuk bertahan dan menjaga kedaulatannya.


Diplomasi Nuklir Ala Korea Utara

Kim Jong Un berfoto bersama beberapa tentara Korut saat uji coba rudal Hwasong-17. (Dok. Kcna.kp) 
Kim Jong Un berfoto bersama beberapa tentara Korut saat uji coba rudal Hwasong-17. (Dok. Kcna.kp) 

Dari banyaknya cara berdiplomasi, Korea Utara justru memilih cara berdiplomasi yang cukup kontroversial yakni dengan senjata nuklir. Sejak Kim Il-sung hingga Kim Jong-un, program nuklir Korea Utara selalu diposisikan sebagai jaminan keamanan utama bagi rezim dan alat tawar-menawar dalam negosiasi internasional. Dalam hal ini, diplomasi nuklir adalah salah satu senjata utama Korea Utara untuk mempertahankan kekuasaannya dan mengamankan bantuan ekonomi dari negara-negara lain.

Sejak pengembangan reaktor nuklir di Yongbyon pada 1980-an, Korea Utara konsisten menggunakan kemampuan nuklirnya untuk menarik perhatian internasional. Contoh utamanya adalah kesepakatan Agreed Framework pada 1994, ketika Korea Utara setuju menutup program nuklirnya dengan imbalan bantuan ekonomi. Namun, kesepakatan ini tidak bertahan lama, dan Korea Utara kembali melanjutkan pengembangan senjata nuklir secara diam-diam. Selain ancaman nuklir, Korea Utara juga sering menggunakan janji denuklirisasi sebagai bagian dari diplomasi mereka. Park (2012) menjelaskan bahwa janji-janji denuklirisasi Korea Utara sering kali hanya digunakan sebagai alat tawar-menawar untuk mendapatkan bantuan internasional, sementara pada saat yang sama mereka terus mengembangkan program nuklirnya.

Diplomasi nuklir Korea Utara adalah bentuk diplomasi koersif yang didasarkan pada ancaman langsung penggunaan kekuatan destruktif. Sebenarnya hal semacam ini merupakan alat yang cukup efektif dalam hubungan internasional, dimana negara-negara lain sering kali merasa dipaksa untuk merespons ancaman tersebut demi menjaga perdamaian dan stabilitas. Namun, seperti yang dicatat oleh Mller et al. (2013), pendekatan ini juga sangat berisiko. Penggunaan ancaman nuklir secara berulang dapat menyebabkan eskalasi yang tidak terkendali, di mana konflik bersenjata dapat meletus jika salah satu pihak merasa bahwa ancaman tersebut tidak lagi bisa dinegosiasikan.


Trump Presiden Unik yang Cinta Damai?

Trump berjabat tangan dengan Kim Jong Un di Hanoi, Vietnam, Rabu (27/2/2019). (AFP/SAUL LOEB)
Trump berjabat tangan dengan Kim Jong Un di Hanoi, Vietnam, Rabu (27/2/2019). (AFP/SAUL LOEB)

Donald Trump, selama masa kepemimpinannya sebagai Presiden AS mengadopsi pendekatan yang tidak konvensional dalam menangani isu nuklir Korea Utara. Alih-alih melanjutkan kebijakan konfrontatif yang diterapkan oleh pendahulunya, Trump memilih untuk terlibat langsung dengan Kim Jong-un. Pendekatan ini menandai perubahan besar dalam diplomasi Amerika Serikat, di mana Trump menjadi presiden pertama yang bertemu langsung dengan pemimpin Korea Utara dalam sebuah pertemuan bersejarah di Singapura pada Juni 2018 (CNN, 2018).

Kebijakan Trump terhadap Korea Utara difokuskan pada upaya diplomasi pribadi dengan Kim Jong-un. Trump menggunakan pendekatan "maximum pressure" dengan menjatuhkan sanksi ekonomi yang ketat sambil membuka pintu untuk dialog langsung. Strategi ini menciptakan keseimbangan antara tekanan ekonomi dan diplomasi, yang pada akhirnya memaksa Korea Utara untuk mempertimbangkan dialog lebih lanjut mengenai denuklirisasi (Al Jazeera, 2022).

Sebuah laporan terbaru dari Politico (2023) menyebutkan bahwa Trump masih memiliki pandangan bahwa dialog langsung dengan Kim Jong-un adalah cara paling efektif untuk menangani ancaman nuklir. Meskipun ia tidak lagi menjabat sebagai presiden, Trump terus menekankan pentingnya hubungan pribadi yang ia bangun dengan Kim. Menurut laporan tersebut, Trump mengklaim bahwa jika terpilih kembali, ia berencana untuk melanjutkan dialog langsung ini, dengan fokus pada upaya untuk mengendalikan program nuklir Korea Utara melalui pendekatan diplomasi personal dan kebijakan bilateral yang lebih pragmatis.

Mengapa Trump bisa menjadi solusi perdamaian? Pertama, pendekatannya yang tidak ortodoks berhasil membuka jalur komunikasi langsung dengan Korea Utara, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam diplomasi Amerika-Korea Utara. Kedua, Trump berani mengambil resiko dengan bertemu Kim Jong-un secara langsung, menempatkan dirinya dalam posisi yang mampu membentuk hubungan pribadi dengan pemimpin Korea Utara. Hal ini penting karena dalam politik Korea Utara, keputusan sering kali bergantung pada satu figur pemimpin, yaitu Kim Jong-un. Dengan membangun hubungan langsung, Trump mampu menciptakan kepercayaan dan keterbukaan yang lebih besar antara kedua negara.

Presiden Terpilih Prabowo Harapan Baru Diplomasi Indonesia

Prabowo Subianto/Tim Media 
Prabowo Subianto/Tim Media 

Prabowo dipandang sebagai sosok yang "berani" dalam diplomasi internasional. Berkat reputasinya sebagai tokoh militer dengan jaringan internasional yang kuat, ia memiliki potensi besar untuk menjadi mediator dalam konflik regional. Dalam hal ini, Gerindra bahkan telah menyebutkan bahwa Prabowo kemungkinan besar akan mengundang Kim Jong-un ke Indonesia untuk memperkuat dialog dan kerja sama di kawasan (Seputar Militer, 2024). Langkah ini dapat menjadi terobosan penting dalam membangun hubungan yang lebih baik antara Korea Utara dan negara-negara ASEAN, serta menjaga stabilitas keamanan di Asia Timur.

Dalam menghadapi rumitnya masalah nuklir Korea Utara, kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Prabowo harus fokus pada beberapa aspek penting. Pertama, Indonesia perlu memperkuat diplomasi non-blok yang selama ini menjadi ciri khas hubungan internasionalnya. Sebagai negara yang tidak berpihak kepada kekuatan besar mana pun, Indonesia bisa berperan sebagai mediator yang netral dan dipercaya oleh semua pihak, termasuk Amerika Serikat, Korea Utara, dan Tiongkok (RMOL, 2024). 

Kedua, diplomasi ekonomi juga dapat menjadi salah satu senjata utama Indonesia. Pemerintah Prabowo dapat mengusulkan insentif ekonomi bagi Korea Utara melalui kerjasama yang melibatkan ASEAN. Misalnya, Indonesia dapat menawarkan bantuan teknis atau peluang investasi di bidang pertanian dan energi, sebagai imbalan atas langkah konkret Korea Utara dalam menahan program nuklirnya.  

Untuk menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara, Indonesia bisa memimpin dalam menciptakan platform diplomasi multilateral yang melibatkan aktor-aktor utama di kawasan Asia Timur dan dunia internasional. Solusi terbaik adalah dengan mendorong pertemuan tingkat tinggi yang menekankan pendekatan "win-win solution," di mana Korea Utara dapat diberikan insentif keamanan dan ekonomi, dengan imbalan penurunan kapasitas nuklir mereka secara bertahap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun